REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Gerindra optimistis pengusulan Hak Angket terkait pengangkatan kembali Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur Jakarta akan berhasil meskipun prosesnya kemungkinan berjalan setelah masa reses.
"Saya optimis karena standar pengguliran hak angket itu sudah memenuhi syarat dan perdebatannya di Rapat Paripurna setelah reses," kata Ketua Fraksi Gerindra di DPR Ahmad Muzani di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (20/2).
Muzani mengatakan Hak Angket itu sebagai usulan anggota DPR sudah bisa diajukan ke Badan Musyawarah untuk dijadwalkan dibahas di Rapat Paripurna. Menurutnya, karena DPR sudah memasuki masa reses pada 24 Februari maka kemungkinan besar prosesnya dibahas di Paripurna setelah reses.
"Saya belum tahu apakah para pengusul Hak Angket itu sudah menyurat ke Pimpinan DPR atau belum. Kalau sudah berarti tinggal dibahas di Bamus lalu dijadwalkan ke Paripurna. Saya perkirakan kemungkinan prosesnya berjalan setelah reses," ujar Sekjen Partai Gerindra itu.
Muzani menegaskan Hak Angket itu secara substansi mengingatkan pemerintah bahwa ada kasus kepala daerah menjadi terdakwa langsung dinonaktifkan, namun ada kasus seperti Ahok malah dilantik kembali.
Menurut anggota Komisi I DPR itu, dalam menjalankan pemerintahan ada standar dan norma yang harus dipatuhi sehingga sistemnya berjalan dengan baik.
"Kalau Komisi II DPR ingin mengundang Mendagri terkait ini maka itu hal yang baik sebagai penjelasan awal Mendagri," ujarnya.
Sebelumnya pada Senin (13/2) sebanyak 90 orang dari empat fraksi, yaitu Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional, mengajukan Hak Angket 'Ahok Gate' ke pimpinan DPR.
Usulan itu diterima oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Pengajuan Hak Angket itu dikarenakan pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, diduga melakukan pelanggaran hukum karena melantik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta setelah selesai masa cuti kampanye Pilkada Jakarta.
Pelantikan itu dianggap melanggar hukum karena dalam Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah kepala daerah harus diberhentikan sementara ketika menjadi terdakwa pidana lima tahun penjara.