REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemimpin Partai Buruh yang juga Pemimpin Oposisi Australia Bill Shorten akan menyatakan sikap partainya yang menentang permukiman Yahudi di Tepi Barat, saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkunjung ke Australia pekan ini.
Netanyahu akan menjadi pemimpin Israel pertama yang masih aktif yang mengunjungi Australia. Ia dijadwalkan tiba Rabu (22/2). Pekan lalu, mantan PM Kevin Rudd kepada ABC mengatakan Australia harus mengikuti jejak Swedia dan Vatikan untuk secara resmi mengakui negara Palestina.
Program permukiman kontroversial Israel, khususnya UU yang diajukan bulan lalu yang secara retrospektif melegalisir sekitar 4.000 rumah yang dibangun di atas tanah Palestina, telah dikritik Menlu Julie Bishop. Ia menyatakan keprihatinan atas perluasan permukiman Israel di Tepi Barat namun menolak mengomentari UU baru tersebut.
Bill Shorten mengatakan posisi Partai Buruh tentang perdamaian di Timur Tengah sudah jelas. "Partai Buruh telah lama mendukung solusi dua-negara," katanya.
"Kami mendukung hak orang Palestina dan Israel untuk hidup di dalam perbatasan yang aman. Saya akan memperjelas kepada Netanyahu jika pembangunan permukiman jadi penghalang bagi solusi dua negara, maka hal itu harus dihentikan. Titik," ujar Shorten.
"Saya sudah menyatakan hal ini di masa lalu, dan saya akan terus berpendapat perluasan permukiman dalam banyak kasus menjadi hambatan solusi dua negara," katanya.
Dalam konferensi pers dengan Netanyahu di Washington, Presiden AS Donald Trump menghilangkan tekanan Amerika Serikat pada solusi dua negara tersebut. Namun, dia berjanji mengupayakan kesepakatan damai antara kedua negara.
"Saya ingin Anda sedikit mengurangi masalah permukiman ini," kata Trump kepada Netanyahu.
Israel dan Otorita Palestina tidak pernah lagi menjalin pembicaraan resmi sejak 2014. Palestina menginginkan solusi dua negara yang mencakup semua wilayah hilang akibat kekalahan Yordania dalam perang 1967, termasuk wilayah Yerusalem Timur.
Diterbitkan Pukul 14:30 AEST 20 Februari 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.