Kamis 23 Feb 2017 06:05 WIB

Tak Menolak Perubahan Status, Freeport Hanya Ingin Kepastian

Rep: Ali Mansyur/ Red: Budi Raharjo
Sejumlah truk milik PT Freeport Indonesia terparkir di Grasberg, Tembagapura, Timika, Papua.
Foto: Antara
Sejumlah truk milik PT Freeport Indonesia terparkir di Grasberg, Tembagapura, Timika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Komisaris PT Freeport Indonesia, Marzuki Darusman, menegaskan hingga saat inj manajemen perusahannya masih berupaya bernegosiasi dengan pemerintah. Soal arbitrase, itu hanya sebagai jalan akhir yang akan ditempuh PT Freeport Indonesia.

Jalan arbitrase diambil apabila memang PT Freeport Indonesia dengan pemerintah tidak menemukan solusi. Namun, dikatakannya, sebelum jalan menuju arbitrase tersebut masih ada waktu panjang untuk melakukan negosiasi.

“Itu tahapannya. 120 hari digunakan untuk kemudian kami bersama-sama duduk untuk mencarikan jalan keluar dari perbedaan persepsi terhadap ketentuan di dalam kontrak,” jelas Marzuki usai Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, dan Dirjen Minerba, pada Selasa (21/2) malam WIB.

Karena itu, Marzuki memastikan Freeport akan proaktif berkomunikasi dengan pemerintah untuk mendapatkan informasi tata cara penyelesaian masalah. Dengan adanya komunikasi yang intens maka diharapkan persoalan bisa segera diselesaikan agar aktivitas pertambangan di Grasberg, Tembagapura, Mimika, dapat beroperasi kembali.

Bahkan ditegaskannya, PT Freeport Indonesia berkomitmen untuk membangun smelter. “Saya kira tidak ada keraguan sedikit pun untuk membangun itu,” tambahnya.

Selain itu, PT Freeport Indonesia juga siap beralih menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), apabila pemerintah memberikan kepastian investasi. Dijelaskannya pada 26 Januari perusahaan menyatakan kesediaan mengubah statusnya kalau disertai adanya perjanjian stabilitas investasi dan kepastian fiskal bagi perusahaan. “Tidak bisa menerima IUPK itu jika tidak ada perjanjian stabilitas yang memberikan kepastian hukum dan fiskal,” jelas Marzuki.

Kemudian, perihal persoalan stabilitas investasi dan fiskal yang dimaksud adalah mengenai perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia yang akan berakhir pada 2021. Sementara poin yang tidak diterima oleh Freeport dalam IUPK antara lain kewajiban divestasi 51 sahamnya kepada pemerintah.

Tak hanya itu, PT Freeport Indonesia juga menolak penerapan tarif pajak prevailing atau bisa berubah sesuai dengan aturan perundang-undangan. Adapun Freeport ingin tarif pajak tetap atau nailed down seperti yang diatur dalam Kontrak Karya (KK).

Sementara itu, anggota Komisi VII dari Fraksi PDI Perjuangan, Tony Wardoyo, meminta Freeport berkomitmen berdialog dengan pemerintah sebelum menempuh jalur arbitrase. “Apakah Freeport akan tetap membawa masalah ini ke arbitrase?” kata Tony yang berasal dari daerah pemilihan Papua tersebut.

Selain mempertanyakan soal pernyataan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C Adkerson yang akan mengambil jalur arbitrase jika dalam 120 hari ke depan negosiasi dengan pemerintah buntu, anggota parlemen juga mempertanyakan soal komitmen perusahaan membangun pabrik pemurnian atau smelter.

Sementara itu, anggota Komisi VII Rofi’Munawar mengatakan apa yang dilakukan oleh Pemerintah sesungguhnya merupakan amanat Undang-Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) No 4/2009. Yaitu menegakkan aturan terkait renegosiasi kontrak dengan perusahaan pemegang KK dalam hal ini PT Freeport Indonesia.

Kata Rofi, selama ini pemerintah cenderung lunak terhadap berbagai kewajiban yang telah diamanatkan UU Minerba terhadap perusahaan pemegang Kontrak Karya seperti Freeport. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai aturan relaksasi yang dikeluarkan pemerintah sejak UU No 4/2009 ini disahkan.

“Akibat pemerintah yang cenderung lembek maka polemik dengan PT Freeport Indonesia terus terjadi. Apalagi kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan tidak transparan,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement