REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zuhud bukanlah tidak suka harta, tidak bekerja keras, dan hanya beribadah. Zuhud itu tidak mau repot dengan urusan dunia, harta, jabatan, dan lain sebagainya, namun lebih menitikberatkan, lebih mementingkan kepada Sang Pemberi itu semua, yakni Allah SWT.
Demikian disampaikan Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Habib Luthfi) saat bertemu dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Kantor Kemenag Jalan Lapangan Banteng Barat 3-4 Jakarta, kemarin. Kehadirannya di Kantor Kemenag usai bertemu Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud di Istana Negara bersama tokoh-tokoh lainnya.
"Membangun masjid, madrasah, haji, zakat, semua butuh duit. Bahkan, membantu kesejahteraan fuqoro sangat perlu materi. Zuhud adalah mampu tidak tergantung pada materi, tapi kepada pemberi materi," ujar Habib.
Habib juga mengingatkan, keadaan dunia bisa lebih baik, jika semua penganut agama, mampu melihat Tuhan. Menurutnya, jika itu sulit, minimal ketika kita bersujud kepada Allah SWT, kita merasa didengar dan dilihat Allah SWT. "Jika itu terjadi, di setiap kita, tidak sembarangan melangkah. Dan keburukan pun bisa diminimalisasi," ujar Habib.
Habib melihat, dunia tasawuf tidak sempit. Menurutnya, dunia tasawuf sangat luas dan menjunjung syariat. Makan misalnya, seorang sufi melihat, nasi yang ada adalah rejeki dan pemberian dari Allah SWT. Untuk itu, maka untuk menghormati Sang Pemberi, nasi diletakkan di piring yang bersih.
"Jadi makan dengan piring yang bersih, bukan karena menghormati nasinya, namun lebih pada menghormati Sang Pemberi Nasi. Dan bahkan piring bersih tersebut sebelum dipakai, dilap dulu pula. Ini adalah bagian dari takdzim kepada Sang Pemberi Rizki. Untuk itu, sebelum makan dan sesudah makan, seorang sufi membaca doa sebagai bentuk takdzim," ucap Habib.