REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menyatakan kasus proyek KTP-El menjadi bukti bahwa masih terdapat proyek pengadaan yang dilakukan secara tertutup. Karena itu, dokumen kontrak antara pemerintah dan swasta dalam pengerjaan proyek pemerintah harus dibuka kepada publik.
"Produk akhir dari proyek pengadaan adalah kontrak antara pemerintah dan perusahaan. Nah, sebaiknya dokumen kontraknya itu enggak boleh menjadi dokumen rahasia untuk dua pihak itu saja. Harusnya dibuka, harusnya menjadi dokumen publik," kata dia di Jakarta, Selasa (7/3).
Dengan begitu, publik bisa ikut mengawasi jalannya proyek yang dijalankan pemerintah dan pihak swasta. Publik dalam hal ini juga bisa mengetahui lebih detil soal proyek tersebut. Misalnya berapa nilai proyek itu, siapa pelaksananya, dan berapa harga materialnya.
Jika ini dilakukan, banyak orang yang akan pikir ulang untuk bermain-main dalam proyek. Sebab, publik akan melihat dan dapat ikut memantau.
"Selama ini kontrak terhadap suatu proyek itu ada yang masih bersifat tertutup, rahasia. Dan, kasus KTP-El ini bukti bahwa masih ada proyek yang dilakukan secara tertutup," ujar dia.
Dadang mengakui, proyek besar sejak lama memang selalu menjadi banjakan bagi para politisi. Karena, sistem pengadaan yang ada sekarang masih bisa ditembus oleh pihak-pihak yang ingin "memainkan" proyek.
Modus permainan dalam suatu proyek pengadaan, ada dua kemungkinan. Pertama penggelembungan nilai proyek, kedua yakni bagi-bagi uang kepada pemangku kebijakan. Bahkan, lanjut dia, korupsi politik itu modusnya sudah ada sejak di perencanaan, dan bukan pada proses lelangnya.
"Lelangnya mungkin sudah sesuai Keppres, itu sudah bagus. Mereka tidak bermain di situ, mereka bermain di belakang. Bahkan ketika menentukan KTP-El sebagai pilihan yang akan dikorup, itu sudah terpikir di awal. Di perencanaan, mereka sudah dapat berapa-berapanya. Kalau perlu, bikin perusahaan, banyak juga perusahaan yang tiba-tiba ada. Jadi mereka sudah desain sejak awal," tutur dia.
Kasus pengadaan proyek E-KTP telah merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun dari total proyek senilai Rp 5,9 triliun. Besarnya indikasi kerugian negara akibat perkara proyek E-KTP ini membuat KPK terus berupaya melakukan pengembalian kerugian negara tersebut.
Tebal berkas yang dilimpahkan untuk tersangka Sugiharto mencapai 13 ribu lembar. Saksi yang diperiksa untuknya, yakni 294 orang dan lima ahli.
Sedangkan berkas perkara untuk tersangka Irman, mencapai 11 ribu lembar, dengan total 173 saksi dan lima ahli. Di dakwaan nanti, KPK akan menyebutkan konstruksi besar termasuk juga informasi krusial terkait indikasi aliran dana perkara ini.