REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar berpendapat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu segera menetapkan tersangka terhadap nama-nama besar di kancah perpolitikan dalam negeri yang dalam dakwaan disebut menerima aliran dana kurupsi KTP-el. Sehingga, KPK bisa terhindar dari tuduhan, kasus tersebut ada unsur politik atau ditunggangi kekuatan politik.
"Agar (Korupsi KTP-el) tidak dituduh dan ditafsirkan sebagai langkah politis dan ditunggangi kekuatan politik, serta belum memasuki tahun-tahun yang penuh agenda politik, maka sudah sewajarnya KPK menetapkan dan memajukan segera pihak pihak yang namanya disebut dalam dakwaan untuk segera ditetapkan sebaga tersangka," kata Fickar kepada Republika.co.id, Ahad (12/3).
Apalagi, kata Fickar, nama-nama yang sering disebut-sebut terlibat dalam setiap perkara korupsi, tapi selalu lolos. Menurutnya, dibutuhkan kecepatan dan keseriusan KPK dalam menyelesaikan koripsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut. "Terutama nama-nama yang sering disebut dalam setiap perkara korupsi, tetapi selalu lolos bagaikan Belut. Mengingat serangan balik ke KPK mulai dilakukan, karena itu KPK harus gerak cepat," ucap Fickar.
Fickar mengatakan, disebutnya nama-nama besar tersebut dalam dakwaan bukan tanpa alasan. Menurutnya, KPK pasti mempunyai dua alat bukti atau minimal keterangan saksi-saksi yang mengaitkan nama-nama tenar itu.
"Dengan disebutnya nama-nama besar dalam dakwaan KTP-el, itu berarti KPK mempunyai bukti, minimal keterangan saksi-saksi yang mengaitkan nama-nama tersebut dengan tindak pidana korupsi yang terjadi," kata Fickar.
Sidang perdana kasus mega-korupsi KTP elektronik digelar pada Kamis (9/3) dengan agenda pembacaan dakwaan. Pada persidangan, Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, didakwa merugikan negara sebesar Rp 2,314 triliun.
Dalam dakwaan, disebutkan juga nama-nama besar di dunia perpolitikan Indonesia yang disebut-sebut ikut mencicipi uang haram tersebut. Nama-nama itu adalah Setya Novanto, Anas Urbaningrum, M Nazaruddin, Ganjar Pranowo, Chaeruman Harahap, Agun Gunandjar Sudarsa, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, dan lain sebagainya.