REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kuasa Hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dijadwalkan menghadirkan lima saksi dalam lanjutan kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (14/3).
"Kami harapkan para saksi hadir semua, tidak ada yang berhalangan," kata Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara Hasoloan Sianturi saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (14/3).
Kelima saksi yang dijadwalkan hadir dalam sidang ke-14 itu, yakni ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej, dua Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bangka Belitung, yaitu Juhri dan Ferry Lukmantara, Suyanto sopir yang berasal dari Belitung Timur, dan Fajrun teman Sekolah Dasar (SD) Ahok yang juga berasal dari Belitung Timur.
Sebelumnya, Tim Kuasa Hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dijadwalkan memanggil empat saksi dalam lanjutan sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok pada Selasa (14/3).
"Untuk minggu depan tadi sudah ditentukan Majelis Hakim, kami akan menghadirkan empat orang saksi sekaligus yang meringankan. Siapanya saya tidak hafal," kata Teguh Samudra, anggota tim kuasa hukum Ahok seusai sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/3).
Ia menyatakan empat saksi yang akan dihadirkan itu akan menjelaskan latar belakang kehidupan Ahok.
Sidang ke-14 Ahok sendiri dijadwalkan dimulai pada pukul 09.00 WIB. Sementara arus lalu lintas di depan Gedung Kementerian Pertanian Jakarta Selatan tepatnya di Jalan RM Harsono baik yang mengarah ke Ragunan maupun Mampang Prapatan sudah ditutup pihak kepolisian baik jalur umum maupun jalur Bus Transjakarta.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara. Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.