REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengamat Media FISIP Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo menilai sudah saatnya semua orang membudayakan berfikir terlebih dahulu sebelum menyampaikan pendapat, gagasan atau pesan berantai di media sosial (medsos).
"Menyampaikan pendapat diatur undang-undang. Saat ini kita mengalami krisis kebangsaan. Dominasi perilaku hoax sudah cukup tinggi," kata Suko Widodo di acara Dialog Interaktif Hari Pers Nasional 2017 dengan tema Peran Media Massa Tekan Penyebaran Hoax digelar di kantor PWI Jatim, Surabaya, Selasa (14/3).
Menurut dia, di antara negara-negara lain, negara ini yang paling dominan dalam perilaku hoax. "Kita semua menjadi korban industrialisasi besar. Ada gambar apa saja dikirim, doa dikirim, pesan apapun itu dikirim. Tidak tahunya itu salah," katanya.
Selain itu, lanjut dia, peran media pun juga besar untuk meminimalisir keberadaan berita-berita hoax yang tidak bertanggung jawab. Tentunya dalam hal ini jurnalis mengasah kualitas berpikirnya. "Tidak semua orang bisa jadi jurnalis karena selain menjaga akurasi, juga dituntut kecepatan. Tentunya juga harus ada penghargaan buat jurnalis agar bekerja secara profesional," ujarnya.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim Ahmad Munir mengatakan ironi ketika pers terjebak oleh kepentingan tertentu. "Lebih ironi jika pemilik media juga menjadi kontestan politik. Akhirnya pers jadi partisan, dia kehilangan ideologi," katanya.
Terhadap berita hoax, lanjut dia, masyarakat harus melawan dengan cara memfilter berita yang ada di media sosial. Begitu juga jurnalis harus menjaga keakuratan berita. "Kita menyadari bahwa media punya kepentingan tertentu, tapi jangan kepentingan publik diabaikan," katanya.
Koordinator Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Didik mengatakan pihaknya akan terus membantu membantu masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan akurat. "Tujuan kita agar tidak terjebak dengan informasi hoax. Kita cek berita itu benar apa tidak," katanya.