Jumat 17 Mar 2017 23:08 WIB

Perjuangan Muslim Estonia Membangun Masjid

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Muslim di Estonia.
Foto: Allaris.ru
Muslim di Estonia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kini, terdapat sekitar 20 ribu jiwa umat Muslim di Estonia, sebuah negara kecil di kawasan Baltik. Mereka sudah menetap di sana sejak puluhan tahun lalu, bahkan turut merasakan pahit getir penderitaan semasa rezim komunis Soviet.

Akan tetapi, hingga kini, keberadaan mereka seolah belum terakomodasi. Salah satu buktinya adalah belum adanya sarana (tempat) ibadah yang representatif untuk umat Islam di Estonia.

Ya, belum ada satu pun masjid di negara pecahan Uni Soviet itu. Upaya membangun masjid sebenarnya sudah kerap dilakukan. Namun, ada banyak tantangan dan kendala yang dihadapi, mulai dari pejabat di pemerintahan, masyarakat setempat, ataupun di internal umat sendiri.

Warga Muslim masih terkenang kejadian di tahun 2003 silam. Ketika itu, dengan sokongan seorang pengusaha Muslim, mereka berniat mewujudkan harapan membangun masjid pertama. Bahkan, lebih dari itu, masjid tersebut rencananya bakal jadi yang terbesar di wilayah Balkan.

Proyek ambisius ini bakal berlokasi di Ibu Kota Tallin atau kota besar lainnya. Bila telah selesai pembangunannya--yang diperkirakan menelan dana hingga 40 juta dolar--masjid ini juga difungsikan sebagai pusat kegiatan agama dan kemasyarakatan.

Tapi, tak lama setelah program tersebut digulirkan, muncul penolakan dari berbagai pihak. Salah seorang anggota parlemen Estonia, Liina Tonisson dari Partai Pusat, mengatakan, ''Kami sebenarnya tidak bisa mencegah pembangunan masjid ini. Akan tetapi, Estonia adalah sebuah negara yang berkebudayaan Eropa dan agama Islam tidak cocok di sini,'' terangnya.

Meski begitu, pejabat kota tidak berkeberatan. Juri Mois, wali kota Tallin saat itu, menilai, adanya masjid tersebut nantinya akan mampu menambah keragaman di kota itu. ''Ini akan membuat turis asing tertarik untuk berkunjung ke Estonia,'' katanya.

Dukungan juga datang dari Pusat Kebudayaan Kristen Estonia. Organisasi ini bersedia bekerja sama dengan Palang Merah Islam untuk melobi para pejabat setempat ataupun komunitas umat beragama lain guna menyukseskan program itu.

Polemik terus berlanjut. Ada kekhawatiran bahwa rencana pembangunan masjid dapat memicu sentimen antitoleransi dan kekerasan agama.

Isu ini langsung ditepis mufti Estonia, Syekh Ahmed Harsinov. Islam, kata Syekh Ahmed, adalah agama damai. Dia lantas menyerukan perlunya dialog intensif antara umat beragama di negara itu sebagai upaya membangun saling pengertian dan pemahaman.

Syekh Ahmed kemudian mengingatkan bahwa umat Islam sudah ada di Estonia sejak 100 tahun lalu dan selama itu pula tidak pernah memicu kerusuhan atau kekerasan. ''Jadi, tidak ada alasan untuk merasa takut terhadap Islam dan komunitas Muslim,'' tegasnya.

Sejarah pun mencatat bahwa pembangunan urung terlaksana setelah timbul permasalahan di internal umat. Mereka mempertanyakan kesanggupan Habib Gulijev, sang pengusaha, untuk memimpin proyek ini sekaligus menyediakan pendanaan yang dibutuhkan.

Terkait rencana pembangunan tersebut, Syekh Ahmed mengungkapkan perlunya umat Muslim Estonia memiliki tempat ibadah. Ini mengingat, di Ibu Kota Tallin, hanya ada sekitar 13 tempat shalat dan tak satu pun yang merupakan masjid. Dirinya mencatat, sejak akhir era 80-an, telah lima kali dilakukan upaya pembangunan masjid.

Lebih dari separuh jumlah umat Muslim menetap di Tallin. Kebanyakan dari mereka berasal dari etnis Tatar dan Azer yang datang ke kawasan ini sejak era Uni Soviet. Kini, jumlah pemeluk Islam semakin bertambah dengan kehadiran para imigran dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan negara-negara Islam di Asia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement