REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) mencatat jumlah kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kabid Humas Polda NTB, AKBP Tri Budi Pangastuti mengatakan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan pada 2015 tercatat sebanyak 144 lapora, sementara pada 2016 sebanyak 255 laporan.
"Pada 2016, kalau dilihat dari angka meningkat dari laporan yang masuk," kata dia saat ditemui wartawan di Mapolda NTB, Jalan Langko, Mataram, NTB, Selasa (21/3). Sebanyak 120 laporan 2016 telah diproses hukum. Sedangkan, pelaku yang melibatkan anak-anak tercatat sebanyak 120 laporan dengan 68 laporan diantaranya diproses secara hukum.
Untuk 2017, periode Januari hingga Maret, total laporan anak-anak yang mengalami kekerasan tercatat sebanyak 11 laporan, di mana sembilan laporan masih dalam proses penyidikan. Untuk pelaku yang melibatkan anak-anak tercatat sebanyak tiga laporan.
Tri menjelaskan, laporan yang masuk ke Polda NTB, tidak hanya datang dari keluarga korban, melainkan juga lembaga dan instansi yang menaruh perhatian lebih pada persoalan perlindungan anak, termasuk juga memberikan pendampingan dan proses rehabilitasi. "Penanganan masalah anak ini tidak berdiri sendiri, kita bersama lembaga dan intansi lain yang berkompeten terhadap anak bekerja sama dalam persoalan ini," ucap dia.
Ragam jenis kekerasan terhadap anak, kata dia, meliputi sejumlah kasus seperti penelantaran, kekerasan fisik, kekerasan dalam rumah tangga, dan pencabulan. Tri melanjutkan, geliat teknologi informasi yang semakin maju juga berimplikasi negatif jika tidak mendapat pengawasan dari orang tua. Seperti kasus yang pernah terjadi di Lombok, di mana seorang anak merekam temannya yang mengarah pada konten pornografi melalui telepon genggamnya.
Yang terbaru ialah kasus pedofil yang dilakukan warga negara asal Italia berinisial BG (70) terhadap sejumlah anak-anak di Lombok. BG yang kini berstatus sebagai tersangka pencabulan masih menjalani proses penyidikan di Mapolda NTB.
Tri melanjutkan, BG diduga melakukan pencabulan terhadap enam korban, di mana empat korban merupakan anak-anak dengan usia di bawah 17 tahun. Sedangkan dua anak lainnya yang dewasa pernah menjadi korban kasus serupa sebelumnya.
Berdasarkan penyidikan awal, BG diketahui telah berada di Lombok selama 20 tahun. "Terkadang juga masih bolak-balik," kata Tri.
Pihak Polda NTB kini tengah memeriksa seluruh barang bukti perangkat elektronik milik BG berupa telepon genggam, laptop, dan tablet miliknya. Polda NTB juga telah melibatkan konsultan dari negara yang bersangkutan untuk penyidikan lebih lanjut baik yang berada di Jakarta maupun Bali.
"Sekarang proses penyidikannya masih berjalan, yang bersangkutan masih dalam status tahanan kami," ucap dia.
Selain berkoordinasi dengan pihak konsultan, Polda NTB juga berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB dalam mengungkap jumlah anak yang menjadi korban BG tersebut. Tri menambahkan, posisi NTB, terutama Pulau Lombok yang mulai menjadi salah satu destinasi wisata juga memiliki konsekuensi maraknya kejahatan. Dia menyebutkan, dari sekian banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak, kebanyakan pelaku berasal dari warga negara asing (WNA).
Sebelumnya, Koordinator Divisi Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Joko Jumadi mengatakan, BG telah melakukan tindakan cabul terhadap sedikitnya 25 anak-anak di Lombok. "Dia ditangkap 1 Maret, dan masih ditahan di Polda NTB," ujar dia kepada Republika.co.id di Mataram, NTB, Senin (20/3), kemarin.
Joko memperkirakan jumlah korban BG bisa mencapai ratusan anak mengingat berdasarkan penelusuran LPA NTB pada laptop dan tablet pelaku terlihat banyak foto anak-anak. Dalam modusnya, pelaku 'hunting' korban dengan mendatangi sejumlah lokasi pemandian yang ada di Lombok seperti Sesaot, Penimbung, hingga Kediri. Dia memberikan cinderamata kepada sejumlah anak-anak yang ditemui di lokasi untuk kemudian diajak ke rumahnya di Graha Permata Kota, Mataram.
"Di rumahnya, anak-anak dikasih makan, diajak nonton film porno, dan 'dikerjain'," lanjut dia.
LPA NTB, kata Joko, menduga BG memang sengaja datang ke Lombok untuk memuaskan birahinya seorang diri. Dia belum menemukan ada orang lain terlibat dalam kasus tersebut. Kejanggalan lain yang ditemukan ada pada akun Facebook milik pelaku yang kebanyakan berteman dengan anak-anak dari Indonesia.
Terungkapnya kasus ini bermula adanya laporan dari masyarakat kepada LPA NTB tentang perilaku BG. Kemudian, bersama Polres Mataram, LPA NTB menelusuri korban dari kejahatan BG. Awalnya, LPA NTB bersama Polres Mataram menemukan lima korban. Kemudian, jumlah ini terus membengkak begitu dikembangkan hingga 25 korban. Joko menambahkan, kasus serupa juga terjadi pada tahun lalu yang melibatkan dua warga negara asing.
"Tahun lalu modusnya menggunakan media online, komunikasi dengan klien, ada mucikari yang jual anak-anak ke turis asing yang mau ke Lombok dan mereka ini sudah jaringan pedofil," ungkap Joko.
LPA NTB terus melakukan upaya pendampingan bagi para korban kekerasan seksual, di mana pada tahap awal lebih fokus pada proses hukum. Tahap selanjutnya ialah proses rehabilitasi korban dengan menyiapkan psikolog untuk membantu pemulihan korban.
Joko menerangkan, kasus kekerasan terhadap anak di NTB terbilang cukup mengkhawatirkan. Ia menilai, meski sudah dalam kondisi darurat, pemerintah belum menjadikan ini sebagai satu prioritas yang perlu segera ditangani.
Joko mencontohkan layanan BPJS sendiri tidak mengakomodir para korban yang membutuhkan psikolog untuk terapi rehabilitasi. Korban yang hendak menjalani terapi rehabilitasi diharuskan membayar sendiri. Padahal, dalam proses pemulihan mental, kata dia, sangat membutuhkan peran dari para psikolog.
"Saya berharap rehabilitasi dapat perhatian dari pemerintah, selama ini belum jadi sebuah prioritas dan bisa mengakibatkan banyak korban yang bermutasi jadi pelaku karena tidak dapat kesempatan rehabilitasi," katanya.