REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Kesehatan mengakui kurang maksimalnya penanganan kasus keracunan pangan. Sebab, pada saat terjadi keracunan Kemenkes prioritas pada penanganan korban.
Hal tersebut disampaikan Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali saat ditemui di Hotel Park Lane Jakarta, Senin (3/4). Ia menjelaskan, fokus pada korban membuat sampel makanan tidak segera diambil untuk diuji laboratorium. "Belum banyak yang berfokus pada bahan yang menimbulkan kercaunan itu," katanya.
Pengambilan sampel tidak segera juga berpotensi besar merusak penyebab keracunan. Hal ini akan berdampak pada hilangnya data-data penting seperti mikro organisme penyebab keracunan.
Padahal, dengan mengetahui penyebab keracunan memudahkan pihaknya untuk menelusuri penyebabnya hingga ke hulu. Dari sana, pengawasan pangan dapat diperbaiki secara maksimal. "Kita belum punya datanya sampai itu," katanya.
Untuk saat ini, Kemenkes dengan bantuan Puskesmas terus melakukan pembinaan kepada masyarakat terkait makanan tidak layak, pengolahan makanan cepat saji dan pengelola makanan itu sendiri. Cara tersebut diharapkan dapat membantu mengurangi keracunan pangan yang terjadi di masyarakat.
Dari data 2016, kata dia, pada kejadian luar biasa (KLB) penyakit keracunan ternyata 25 persennya merupakan keracunan pangan. Dalam kesempatan tersebut Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Suratmono mengatakan, KLB keracunan pangan yang dilaporkan oleh BPOM pada tahun itu sebanyak 53 kejadian.
"Jumlah ini lebih rendah dari berita keracunan pangan di media yang mencapai 110 berita selama tahun 2016," katanya.