REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Seorang pejabat PBB mengecam Australia atas tingginya jumlah anak Aborigin yang berada dalam penjara dan mengatakan Pemerintah Federal perlu menurunkan jumlah tersebut.
Anakl-anak muda Aborigin dan Torres Strait Islander tercatat 17 kali lebih mungkin untuk terlibat dalam sistem peradilan dibandingkan rekan mereka dari kelompok masyarakat lainnya. Pelapor Khusus PBB Victoria Tauli-Corpuz menghabiskan dua minggu terakhir menyelidiki berbagai ketinggalan yang dialami penduduk pribumi.
Dia mengaku pertemuan dengan puluhan anak muda di Cleveland Youth Detention Centre, Townsville, merupakan hal yang paling mengganggu yang pernah saya lihat. "Saya sangat kaget dengan tindakan hukuman yang dijatuhkan, yang sangat mengurangi kemungkinan masa depan yang baik bagi anak-anak ini," kata Tauli-Corpuz setelah menyampaikan laporan awalnya.
"Kebanyakan kejahatan yang mereka lakukan merupakan kejahatan kecil. Kebanyakan dari mereka berasal dari sistem perlindungan anak, yang berarti bahwa sistem perlindungan anak tidak berjalan secara efektif," katanya.
"Anak-anak tersebut tidak sepantasnya berada di pusat penahanan; sumber daya seharusnya lebih banyak disediakan untuk intervensi awal dan pencegahan," jelasnya.
Meskipun hanya 3 persen dari populasi, sekitar seperempat dari penghuni penjara di Australia adalah warga Aborigin atau Torres Strait Islander. Tauli-Corpuz yang merupakan warga pribumi Filipina, juga mengunjungi Bandyup Women's Prison di Perth dan Children's Koori Court di Melbourne.
Dia mendukung desakan dari puluhan kelompok kepada Pemerintah Federal untuk menentapkan target yang adil yang bertujuan menurunkan tingkat hunian penjara. "Harus ada target yang adil yang akan mengatasi tingginya jumlah pribumi di penjara serta dana yang disediakan akan digunakan untuk program pencegahan, reintegrasi dan pengalihan," katanya.
Sebelum bergabung Komisi HAM
Tauli-Corpuz menguraikan permasalahan program pendanaan unggulan Comonwealth, yaitu Strategi Kemajuanh Pribumi. Dia juga menyampaikan kekhawatiran tentang kurangnya dukungan bagi National Congress of Australia's First Peoples bersama dengan lambannya peningkatan hasil kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.
Pelapor Khusus PBB ini mengatakan isu-isu kunci perlu ditangani sebelum Australia bergabung dengan Komisi HAM PBB. Pemerintah Australia telah berupaya bergabung komisi itu untuk periode 2018-2020.
"Agar dapat menjadi anggota Komisi HAM, perlu mengatasi secara substansial isu-isu yang diusung masyarakat pribumi selama bertahun-tahun," katanya.
Tauli-Corpuz memuji tindakan Pemerintah Negara Bagian Victoria dan Australia Selatan untuk menjajaki adanya perjanjian dengan kelompok-kelompok Aborigin. Dia mendesak Pemerintah Commonwealth untuk mengikuti hal itu, dan menyebutnya "salah satu komponen penting" rekonsiliasi.
"Perjanjian ini penting karena hal itu akan mengelaborasi lebih jauh berbagai aspek dari isu-isu yang mereka hadapi, apakah pendidikan, kesehatan, reparasi untuk ketidakadilan yang telah terjadi pada mereka," ujarnya.
Menteri Urusan Pribumi Nigel Scullion menyampaikan terima kasih atas temuan awal Tauli-Corpuz ini. Namun dia menyatakan laporan tersebut kurang mempertimbangkan banyak perkembangan positif dalam urusan pribumi. "Sebagian besar Penduduk Pertama di Australia terlibat dalam komunitas mereka sama seperti warga masyarakat luas," kata Senator Scullion dalam sebuah pernyataan.
"Mereka memiliki pekerjaan, mereka masuk sekolah dan melakukan pelatihan lanjutan. Dan terlepas dari persepsi publik, tidak terlibat dengan sistem peradilan pidana," katanya.
"Pemerintah Koalisi, bagaimanapun, mengakui adanya Penduduk Pertama Australia yang membutuhkan dukungan tambahan - dan berkomitmen untuk menyediakan hal itu," katanya.
Dia juga mengatakan ada beberapa ketidakakuratan dalam temuan awal Tauli-Corpuz terkait isu-isu seperti pendanaan yang dia setujui untuk diatasi sebelum merilis laporan akhirnya.
Diterbitkan Selasa 4 April 2017 Pukul 12:00 AEST oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.