REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Pemkab Karawang kembali memperpanjang status siaga bencana. Perpanjangan ini menyusul masih tingginya curah hujan yang turun di wilayah itu sehingga potensi bencana terutama banjir masih ada.
Sekertaris BPBD Kabupaten Karawang Supriyatna mengatakan, seluruh kecamatan di Karawang siaga bencana. Status yang berlaku untuk tingkat kabupaten diterapkan sampai 26 April mendatang.
Menurutnya potensi bencana terbesar di Karawang saat ini, yaitu banjir, angin ribut, dan tanah longsor. Ada 13 kecamatan yang berada di zona merah. "Sekarang ada lagi potensi bencana lainnya, yaitu gerakan tanah di wilayah yang dekat dengan bibir Sungai Citarum," ujarnya, kepada Republika, Kamis (6/4).
Menurut Supriyatna, sejak status bencana berlaku mulai dari November 2016 hingga sekarang, belum ada kejadian bencana dalam skala besar. Adapun bencana banjir kerap menerjang Desa Karang Ligar, Kecamatan Teluk Jambe Barat. Nammun tidak separah bencana banjir 2010 lalu.
Meski demikian, lanjut Supriyatna, pihaknya tetap mewaspadai bencana. Karenanya, setiap saat pihaknya membuka layanan bagi setiap kepala desa ataupun masyarakat untuk melaporkan kejadian yang berkaitan dengan bencana."Laporan sekecil apapun, akan kita tindak lanjuti," ujarnya.
Supriyatna menjelaskan, Karawang ini dibelah oleh sejumlah sungai besar dan kecil. Ada tiga sungai besar yang kerap kali airnya luber ke daratan sehingga menyebabkan banjir. Tiga sungai itu Citarum, Cibeet, dan Cilamaya. Tetapi, sungai-sungai kecil juga berpotensi menyebabkan banjir.
Bila curah hujannya tinggi dan tak berhenti-henti selama tiga hari. "Karenanya, 13 kecamatan di kita ini menjadi langganan banjir," ujarnya.
Sementara itu, Asep Saefulloh (42 tahun), warga Kampung Pangasinan, Desa Karangligar, Kecamatan Teluk Jambe Barat, mengaku, wilayahnya ini sangat sensitif terhadap banjir. Tak ada hujan pun, perkampungan di desa ini bisa tergenang banjir sampai satu meter. Penyebab utamanya, yaitu meluapnya air dari Sungai Cibeet.
Selama 2017 saja, lanjut Asep, kampungnya sudah enam kali diterjang banjir. Selama itu pula, warga bolak-balik antara rumah dan tempat pengungsian. Kondisi ini, membuat warga lelah. Apalagi, hingga kini belum ada solusi untuk mengatasi banjir ini.