Ahad 09 Apr 2017 13:31 WIB

Pergeseran Label dari Bandit ke Teroris di Tuban Dianggap Aneh

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Ilham
Sejumlah mobil ambulance melintas mengangkut jenazah terduga teroris di jalan di Desa Suwalan, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Sabtu (8/4).
Foto: Antara
Sejumlah mobil ambulance melintas mengangkut jenazah terduga teroris di jalan di Desa Suwalan, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Sabtu (8/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme, Harits Abu Ulya memberikan tanggapannya terkait tewasnya enam orang yang diduga teroris dan satu orang lagi masih hidup di di Jenu, Tuban, Jatim pada Sabtu (8/4). Harits mengaku heran karena awalnya mereka diklaim sebagai bandit, kemudian bergeser menjadi teroris.

"Dari bandit ke terorisme, aneh! Pihak polisi perlu transparan, menjelaskan secara jujur dan sebenar-benarnya kasus tersebut," kata Harits kepada Republika.co.id, Ahad (9/4).

Harits menjelaskan, masyarakat telah membaca di portal sosial media divisi Humas Polda Jatim bahwa kasus tersebut adalah kelompok bandit yang menyerang polisi. Bahkan, informasi yang beredar viral via grup Whatsapp karena keberadaan mobil Terios dengan penumpangnya di anggap mencurigakakan oleh satlantas, akhirnya diikuti. Akhirnya dilaporkan; penumpang Terios mengeluarkan tembakan ke arah aparat.

Saat dilakukan pengejaran oleh aparat akhirnya mobil berhenti dan penumpang lari ke arah kebun masyarakat. Dan di waktu berikutnya publik akhirnya melihat enam orang terkapar tewas di kebun dan 1 orang masih hidup.

Selain itu, barang bukti yang disebutkan awalnya pasport, beberapa ponsel dan sekotak amunisi, kemudian di waktu berikutnya bertambah dengan dua mushaf Alquran dan Handi Talky serta dua pistol. Andaikan benar gerombolan tujuh orang tersebut melawan dengan senpi, sementara barang bukti cuma dua pucuk pistol. Maka bagaimana lima orang lainnya tersebut melawan dan berujung  tewas?

Menurut dia, tidak lucu jika seseorang membawa bom kemudian ia lari terbirit-birit sembunyi di kebun untuk melawan. Menurutnya ini perlu penjelasan. "Menurut saya banyak kejanggalan kalau kasus tersebut diseret ke isu terorisme. Dari nama yang muncul dikaitkan dengan jaringan teroris Semarang itu juga nama yang asing. Dan lebih naif lagi, jika benar mereka pegang dua pistol dengan sekotak amunisi penuh lantas buat apa nyerang satlantas? Apakah enam orang yang tewas benar terkait dengan kelompok pengikut ISIS semua? Semua yang tewas tidak mungkin lagi bisa diklarifikasi dan dibuktikan di depan pengadilan atas tuduhan aksi terorisme seperti yang dipublikasikan."

Masyarakat saat ini gagap untuk bisa komentar jika seorang tewas dengan label teroris atau terduga teroris. Karena, kata dia, label 'teroris' seolah menjadi sertifikat halal untuk dihabiskan nyawanya dan tidak ada pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa tersebut. Dia berharap, kompolnas, komnas HAM, komisi 3 DPR RI, atau institusi terkait serius memperhatikan kasus ini.

Dalam kasus terorisme, penyelesaian dengan cara kekerasan itu hanya akan menjadi pemicu kekerasan berikutnya jika menemukan momentum. Kekerasan terbukti tidak bisa mereduksi aksi terorisme secara signifikan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement