REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Ahmad Muttaqin menilai, gaya dakwah Zakir Naik, yaitu merespons model dakwah yang dilakukan oleh misionaris. Naik melihat agama lain melalui kacamata Islam.
Menurut Muttaqin, hal tersebut mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Sisi positif yang dimaksud adalah dapat berdampak kepada keimanan internal umat Islam. Namun, di sisi lain model dakwah seperti ini cukup berbahaya jika diterapkan di negara multikultural.
Muttaqin melihat, dakwah yang dilakukan Zakir menggunakan pendekatan perbandingan agama. Model dakwah seperti itu dalam konteks studi agama-agama, kata Muttaqin, sudah tidak lagi menjadi tren.
"Terutama, kalau kita lihat pada konteks masyarakat multikultural yang setiap kelompok punya hak untuk itu. Yang dilakukan Zakir Naik kemudian, dia banyak melakukan pengislaman kepada banyak pihak. Satu sisi bagi umat agama lain pasti dia akan merasa nggak senang," Muttaqin mengungkapkan.
Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis menambahkan, pendekatan yang dilakukan Zakir Naik di satu sisi memiliki dampak positif untuk hal rasioanalitas konsep keyakinan beragama. Sehingga, terjalin komparasi dan rasionalisasi. Sedangkan, pendekatan tersebut juga bisa menciptakan kesalahpahaman atau menyinggung perasaan pemeluk agama lain.
"Karena, ada yang tidak suka dengan gaya dakwah seperti itu atau kadang dianggap mengganggu harmoni umat beragama," jelasnya.
Cholil mengatakan, setiap tempat mempunyai kekhasan tersendiri baik segi budaya maupun lainnya. Untuk itu, menurut Cholil, pendakwah perlu bijak dalam menyampaikan ajarannya supaya tidak kontraproduktif. Namun, Cholil mengakui, gaya dakwah yang dilakukan Zakir Naik sudah ada Indonesia meskipun baru sebatas di ruang akademik atau forum perbandingan agama.