Senin 10 Apr 2017 09:19 WIB

Membangun Desa Melalui Pertanian

Petani memanen cabai di Desa Boyantongo, Paigi Selatan, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Selasa (4/4).
Foto: Antara/Fiqman Sunandar
Petani memanen cabai di Desa Boyantongo, Paigi Selatan, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Selasa (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dr. Ketut Kariyasa, Staf Kementrian Pertanian

Sampai saat ini sebagaian besar penduduk Indonesia masih  tinggal di perdesaan. Sebagian besar dari mereka pekerjaan dan sumber pendapatan utamanya adalah dari sektor pertanian. Dengan demikian dapat dikatakan membangun pertanian pada dasarnya identik dengan membangun perdesaan. Oleh karena itu, kemajuan suatu masyarakat perdesaan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan pembangun pertanian itu sendiri.

Membangun pertanian melalui penerapan inovasi teknologi pertanian yang efisien dalam biaya produksi dan mampu meningkatkan produktivitas secara nyata, selain mampu meningkatkan kesejahteraan petani, pada saat yang sama juga akan mampu menyediakan lapangan kerja yang lebih banyak bagi penduduk perdesaaan setempat.  

Hanjeli, Sumber Karborhidrat Pengganti Nasi

Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian-Kementerian Pertanian Dr. Abdul Basit dalam diskusi Media Kominfo dengan tajuk 'Pemerataan Kesejahteraan Ekonomi Desa' Ahad (9/4) mengatakan bahwa sektor pertanian mempunyai peran penting dalam peningkatan kesejahteraan petani dan pemerataan pendapatan di perdesaan yang dapat dlihat dari membaiknya Nilai Tukar Petani (NTP)  dan menurunnya Rasio Gini  di perdesaan.

Dalam dua tahun terakhir NTP meningkat dari 101,59 pada tahun 2015 menjadi 102,66 pada tahun 2016, sementara Rasio Gini menurun dari 0,334 menjadi 0,327. Lebih lanjut Abdul Basit mengatakan bahwa kurang tepat kalau kita membandingkan NTP antar bulan, karena nilainya berfluktuasi  sehingga tidak relevan untuk diperbandingkan, dan oleh karena itu sebaiknya nilai NTP tersebut dilihat selama satu tahun, dan dibandingkan antar tahun.

Mengingat penguasaan lahan per petani relatif sempit, dimana hampir sekitar 55,33 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,25 ha, maka agar lebih efisien dalam biaya produksi dan mampu bersaing dalpasar global maka pengembangan pertanian sebaiknya dilakukan melalui pendekatan kawasan (cluster) yaitu dengan menggabungkan sentra‐sentra pertanian yang terkait secara fungsional baik dalam faktor sumber daya alam, sosial budaya, maupun infrastruktur, sedemikian rupa sehingga memenuhi batasan luasan minimal skala ekonomi dan efektivitas manajemen pembangunan wilayah.

Melalui pendekatan ini, maka akan fokus pada beberapa komoditas saja dan terkonsentrasi di lokasi tertentu dengan skala ekonomi, lebih mudah dalam pembinaan serta lebih efisien dari sisi penggaggaran karena dampaknya lebih terlihat dalam skala luas.  Misal untuk padi, jagung, dan ubi kayu dikembangkan dalam kawasan minimal 5.000 ha,kedelai minimal 2.000 ha, kacang tanah minimal 1.000 ha, dan kacang hijau dan ubi jalar minimal 500 ha.  

Dalam tatanan ekonomi  global yang semakin kompetitif,  pengembangan pembangunan pertanian dalam upaya pemerataan kesejahteraan ekonomi desa melalui pendekatan kawasan dengan memanfaatkan keunggulan sumber daya lokal secara optimal berbasis inovasi teknologi dan pemberdayaan petani menjadi penting. Agar upaya ini berhasil maka perlu didukung adanya pembangunan dan perbaikan infrastruktur pertanian, peningkatan kapasitas sumberdaya petani, serta dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement