REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar berpendapat, Dewan Perwakilan Rakyat secara kelembagaan tidak mempunyai hak untuk melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas pencegahan Ketua DPR Setya Novanto. Sebab, menurutnya tugas dan kewenangan DPR sudah baku yaitu anggaran, legislasi dan pengawasan.
"DPR secara kelembagaan tidak mempunyai hak apa-apa termasuk keberatan (atas pencegahan Setnov). Karena tugas dan kewenangan DPR sudah baku yaitu anggaran, legislasi dan pengawasan. Jadi, berlebihan jika lembaga DPR dibawa-bawa dalam perkara pidana korupsi," kata Fickar saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (15/4).
Fickar melanjutkan, keberatan bisa saja dilayangkan oleh anggota DPR ataupun rekan Setya Novanto, bukan oleh DPR secara kelembagaan. Tetapi, keberatan tersebut bisa menjadi tidak berarti karena pencegahan merupakan kewenangan penegak hukum, termasuk KPK yang tidak bisa diintervensi siapapun.
"Boleh saja anggota DPR atau rekan Setnov mengajukan keberatan. Namun, sistem hukum sudah menggariskan demikian, bahwa cekal merupakan kewenangan penegak hukum termasuk KPK yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun," terang Fickar.
Sebelumnya, Dirjen Imigrasi Kemenkumham mengeluarkan pencegahan bepergian ke luar negeri kepada Setya Novanto atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pencegahan dilakukan karena Setya Novanto merupakan saksi penting untuk terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam kasus korupsi KTP El.
Kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dikabarkan melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas pencegahan tersebut. Langkah tersebut menindaklanjuti nota keberatan Fraksi Partai Golkar dan telah menjadi surat resmi kelembagaan karena telah disepakati dalam rapat Badan Musyawarah.