REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana usulan pengguliran hak angket Komisi III DPR RI ke Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai sebagian pihak sebagai upaya untuk mengintervensi penegakan hukum. Hal itu yang juga disoroti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Menurut Peneliti PSHK Miko Ginting, alasan pengguliran hak angket untuk mendesak membuka rekaman Berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap Miryam S Haryani sebagai bentuk penggiringan proses penegakan hukum ke dalam proses politik.
"Komisi III seharusnya memahami bahwa pemeriksaan terhadap Miryam Haryani berlangsung dalam rangka penegakan hukum (pro justitia). Kontrol terhadap hal itu seharusnya dilakukan oleh mekanisme hukum dalam hal ini pengadilan dan bukan Komisi III," kata Miko dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (20/4).
Menurut Miko, apalagi pengadilan telah menghadirkan penyidik KPK di persidangan. KPK juga kata Miko, telah menetapkan Miryam sebagai tersangka. Sehingga proses penegakan hukum dan kontrol telah berjalan sesuai mekanisme hukum. Karenanya, ia meminta Komisi III DPR tidak perlu mengusiknya dengan tekanan politik melalui hak angket.
"Biarkanlah proses penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya. Apabila dirasa perlu, pengadilan yang akan bertindak secara independen dan akan mengkonfirmasi segala sesuatu yang telah dituangkan dalam BAP. Komisi III DPR tidak perlu bertindak selayaknya pengadilan," kata Miko.
Ia justru menyebut usulan hak angket merupakan langkah kontraproduktif terhadap upaya pengusutan kasus KTP elektronik. Penyebutan nama anggota DPR dan petinggi partai dalam kasus itu seharusnya dikejar untuk ditelusuri kebenarannya melalui proses penegakan hukum.
"Pengajuan hak angket adalah proses politik yang berpotensi mengaburkan pengusutan kasus KTP-el," kata Miko.