REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyebut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jangan abai terhadap kondisi nelayan kecil. KNTI menyebutkan setumpuk masalah yang tak terurai. Di antaranya, penyelesaian alih alat tangkap cantrang, sengkarutnya distribusi bantuan kapal, penangkapan nelayan kecil di Aceh dan sejumlah daerah oleh aparat, skema perlindungan sosial bagi nelayan yang belum sigap di saat cuaca ekstrem, serta akses permodalan serta pasar yang diskriminatif.
Wasekjen KNTI Niko Amrullah mengatakan pemerintah khususnya KKP sebaiknya mulai memperkuat program-program yang berorientasi pada kesejahteraan nelayan dan tentu harus dibarengi dengan proses monitoring dan evaluasi yang baik. Hal itu agar program yang dijalankan tepat sasaran dan jelas output dan outcome nya bagi nelayan kecil dan tradisional.
Menteri Susi Sebut Cantrang Digunakan Oleh Kapal-Kapal Besar
"Prosentase kredit macet (NPL) pada UMKM sektor perikanan pun menunjukkan kenaikan , yakni dari 3,77 persen di tahun 2014 menjadi 4,05 persen tahun 2015, dan naik lagi hingga menjadi 4,40 persen di tahun 2016," ujarnya.
Menurutnya kondisi ini menunjukkan kelesuan kinerja umkm sektor perikanan, yang tak lain membutuhkan peningkatan kapasitas SDM dan juga pasar yang berkeadilan. Hal itu sebagaimana diamanatkan dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan petambak garam.
Ia mengatakan ada tiga aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam membangun dan memberdayakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Pertama, peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Aspek ini mengedepankan pemenuhan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat pesisir. Kedua, penguatan ekonomi lokal, bahwa kelembagaan ekonomi seperti koperasi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) menjadi katalisator pemberdayaan ekonomi masyarakat.
"Terakhir, perlunya menghormati bahkan menguatkan budaya dan kearifan lokal sebagai bentuk pembangunan partisipatif," kata Niko.