REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan penetapan suku bunga oleh Bank Indonesia dianggap menghambat pertumbuhan industri nasional. Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno menilai, pertumbuhan industri nasional akan lebih tinggi apabila tingkat suku bunga diturunkan secara signifikan oleh Bank Indonesia (BI). Terlebih lagi, menurutnya, kebijakan suku bunga BI bisa menghambat pertumbuhan industri dan iklim investasi.
“Dengan adanya deflasi, seharusnya BI menurunkan tingkat suku bunga,” ujar Benny yang juga pelaku industri melalui rilis resmi yang diterima Republika.co.id, Ahad (7/5).
Benny mengatakan, dengan tingkat suku bunga rendah, maka kalangan industri akan mendapatkan pinjaman yang lebih murah. Hal inilah yang menurutnya mampu meningkatkan daya saing perindustrian Indonesia di tingkat global dan bersaing dengan industri negara lain.
“Tingkat suku bunga di Cina dan Singapura sangat rendah sekitar 4-5 persen. Bahkan, di beberapa negara lain malah lebih rendah lagi mencapai tiga persen," ujarnya. Sementara itu, kebijakan suku bunga kredit di Indonesia tercatat mencapai sembilan persen sampai 11 persen.
Benny yang merangkap Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) ini menyatakan, penentuan suku bunga perbankan di Indonesia saat ini lebih tergantung kepada BI dan bank-bank pemerintah, sementara keinginan dunia usaha, ia anggap kurang diperhatikan.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman. Menurutnya, suku bunga kredit bank yang terlalu besar sangat memberatkan bagi industri terutama skala menengah ke bawah. Apalagi, industri kecil dan menengah (IKM) merupakan sektor mayoritas dari populasi industri di Indonesia.
Adhi berharap, ke depannya, perbankan Indonesia semakin efisien dalam mengelola biaya operasional. Artinya, pelaku industri meminta suku bunga kredit bisa turun dan jaraknya dengan suku bunga deposito tidak terlalu panjang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, apabila suku bunga perbankan belum turun secara signifikan akan membuat pelaku usaha untuk menahan ekspansi. Alasannya, mereka mempertimbangkan kemampuan daya beli pasar yang masih rendah. “Yang penting adalah mendorong peningkatan pasar atau konsumsi rumah tangga di berbagai sektor,” ujarnya.
Namun demikian, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengaku optimistis, pertumbuhan industri nasional akan lebih terdongkrak lagi apabila harga gas dan listrik lebih kompetitif karena mampu menekan biaya produksi. “Bahkan, itu bisa menambah daya saing industri nasional di kancah global,” katanya.
Badan Pusat Statitisk (BPS) merilis, industri pengolahan nonmigas mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,71 persen sepanjang kuartal pertama 2017 ini. Angka ini naik dibanding capaiannya pada periode yang sama 2016 lalu di mana pertumbuhannya 4,51 persen. Bahkan, pertumbuhan industri nonmigas di kuartal ini masih lebih tinggi dibanding pertumbuhannya sepanjang tahun lalu sebesar 4,41 persen.
Sektor industri yang tumbuh tinggi pada kuartal pertama tahun ini adalah industri kimia farmasi dan obat tradisional sebesar 8,34 persen, industri makanan dan minuman 8,15 persen, industri karet, barang dari karet dan plastik 7,52 persen, serta industri kulit, serta industri barang dari kulit dan alas kaki 7,41 persen.