REPUBLIKA.CO.ID, Tak ada yang mustahil di depan kuasa Allah SWT. Salah satunya adalah menghidupkan makhluk yang sejatinya telah mati dan benar-benar hidup kembali.
Jawaban atas pertanyaan di atas pernah diungkapkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani seperti dinukilkan dalam kitab al-Ajwibat Ibnu Hajar al-Asqalani ala Asilat Ba’dhi Talamidzihi.
Fatwa Ibnu Hajar tersebut menjawab pertanyaan sang murid, yaitu Ibnu Munjik Al Asyrafi, tepatnya pada 10 terakhir bulan Rabiul Awal 830 H.
Pertanyaan berkutat seputar soal keabsahan berita tentang tujuh makhluk yang hidup kembali setelah mati atas perintah Allah SWT.
Ibnu Hajar lantas menjawab pertanyaan itu. Menurutnya, berdasarkan sejumlah data yang dihimpun dari hadis-hadis nabi, terdapat makhluk yang hidup kembali setelah mati. Sebagian adalah manusia dan sebagian lainnya adalah hewan.
Indikasi hidup kembali itu terlihat lantaran makhluk itu melakukan aktivitas, seperti berbicara dengan lisan, melakukan aktivitas fisik, ataupun hidup layaknya sesamanya yang masih hidup.
Ada tujuh kasus kejadian luar biasa ini yang masing-masing terangkum di berbagai hadis. Sebagai contoh, di antara ketujuh peristiwa hidupnya makhluk yang sudah meninggal itu adalah sebagai berikut:
Yaitu, yang pertama hadis Anas bin Malik tentang seorang pemuda Anshar yang hidup lagi atas permintaan orang tuanya yang renta dan lanjut usia.
Kisah kedua adalah kambing yang memberikan isyarat kepada Nabi Muhammad. Hewan itu memberitahukan kepada Rasulullah untuk tidak memakan dagingnya. Hal ini karena tubuhnya mengandung racun yang dibubuhkan oleh seorang perempuan Yahudi. Kejadian itu terjadi di Khaibar dan tercatat di riwayat Abu Hurairah.
Ketiga, peristiwa bayi perempuan yang telah dikubur hidup-hidup di sebuah lembah oleh orang tuanya sebelum masuk Islam. Setelah menjadi Muslim, ayahanda si perempuan mengadukan hal itu ke Rasulullah dan menyatakan penyelesannya.
Bersama Rasulullah, sang ayah menuju kuburan anaknya. Rasulullah menyampaikan penyesalan sang ayah di depan makam anaknya. Sang anak menjawab dan menyatakan kerelaannya karena telah memperoleh tempat yang mulia di sisi-Nya.
Kisah keempat, yakni kisah sama dengan kasus pertama. Hanya, di kasus ini pria yang bersangkutan adalah Ibrahim bin Nabith dari suku Asyja’i. Berbeda dengan laki-laki yang disebutkan sebelumnya, yaitu pria yang berasal dari Anshar saja.