REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suhadi menyebut pengadilan tidak bisa menolak berkas perkara menyangkut kasus penistaan agama. Hal itu karena pasal penodaan agama masih berlaku dalam sistem hukum Indonesia. MA tidak bisa serta-merta mengeluarkan surat edaran agar pengadilan menolak pengajuan kasus penistaan agama.
"Masalah pasal silakan ke yang buat UU yaitu DPR dengan pemerintah. Silakan saja orang berpendapat, tapi kalau untuk mengeluarkan surat edaran, menolak menangani kasus penistaan agama, enggak bisa, masih hukum positif," kata Suhadi, Kamis (11/5). Suhadi menyebut mengenai pasal penodaan agama yang dianggap rentan dimanipulasi, bisa dibahas di parlemen.
Ia mengatakan, semua bergantung pada pemerintah untuk meninjau pasal-pasal yang sudah tidak cocok dengan kondisi negara. “Yang jelas kalau itu (pasal penodaan agama) dihapus ya silakan saja, jadi nanti dari penyidik kan sudah enggak menyidik lagi. Hakim juga bukan personel yang mencari perkara. Kita itu di terminal terakhir, setelah penyidik, penuntut umum dibawa ke hakim," kata dia.
Hakim mengadili berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Jadi kewajiban hakim memutus berdasar pasal bersangkutan. "Pasal 156 ancaman hukuman cuma 4 tahun kemudian 156 a jadi lima tahun. Jadi pembuat UU yang malah memberdayakan pasal itu, kalau dengan pasal 156 enggak bisa ditahan. Kalau pasal 156 a bisa ditahan karena lima tahun ke atas," katanya.