REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan sejumlah barang bukti diantaranya uang sebesar lebih dari satu miliar rupiah, dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (26/5) lalu. Uang tersebut ditemukan di beberapa ruangan di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penyidik KPK menemukan uang sebesar Rp 40 juta di ruang auditor BPK berinisial ALS. Kemudian di ruangan eselon I BPK yaitu RS senilai 3.000 dolar AS, dan Rp 1.145 miliar. KPK menduga uang ini hasil dari dugaan kasus suap pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Rp 1.145 miliar dan 3.000 dolar AS ditemukan di brankas di ruang RS. Jumlah ini masih KPK pelajari apakah berhubungan dengan kasus ini atau tidak statusnya ditentukan kemudian" jelas Wakil Ketua KPK Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif di Jakarta Selatan, Sabtu (27/5).
Syarif enggan menduga-duga apakah uang senilai satu miliar lebih itu hasil dari dugaan suap WTP atau kasus lainnya yang KPK tidak ketahui. Maka dari itu pihaknya akan terus mempelejari keberadaan uang tersebut. Kemudian juga, kata Syarif, tidak menutup kemungkinan hasil dari penyelidikan nanti akan ada orang lain yang terlibat dalam kasus suap ini.
Untuk latar belakang OTT ini adalah berawal pada Maret 2017 saat dilakukan pemeriksaan atas laporan kemendes PDTT 2016. Dalam rangka memperoleh opini WTP, tersangka SUG melakukan mendekatan ke pihak auditor BPK. Untuk kode uang yang disepakati adalah "perhatian".
Ketua KPK Agus Rahadjo mengatakan, KPK telah menetapkan Irjen Kemendes berinisial SUG, auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan inisial ALS, Eselon I BPK yaitu RS dan eselon III Kemendes yakni JBP sebagai tersangka dugaan kasus suap pemberian opini WTP. Maka dengan penetapan itu KPK meningkatkan status penanganan perkara ke tahap penyidikan.
"SUG dan JPP disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," katanya.
Sementara untuk tersangka RS dan ALS disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.