REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Haryono Umar mengatakan posisi Inspektur Jenderal (Irjen) di kementerian kerap tidak independen. Hal itu membuat irjen rawan melakukan pembiaran bila menemukan penyimpangan, atau bahkan ikut berkongkalikong.
Haryono menerangkan posisi irjen kerapkali tidak bisa independen karena turut berada di dalam sistem internal kementerian tersebut. Sebagian tidak bisa menempatkan diri sebagai pengawas di lingkungan kementeriannya. Ditambah lagi, Irjen mendapatkan fasilitas-fasilitas dari pihak yang diaudit.
"Kalau ada penyelewengan, kalau ada indikasi penyimpangan, harusnya irjennya menyarankan agar menteri bisa menyampaikannya ke penegak hukum. (Tapi) kalau irjennya tidak independen, dan pengangkatannya bukan berdasarkan kapabilitas, itu dia enggak mau buat rekomendasi begitu, enggak enak dia sama menterinya," kata Haryono Umar, kepada Republika.co.id, Ahad (28/5).
Mantan Irjen Kemendikbud ini mengatakan kasus pembiaran semacam itu kadang benar-benar terjadi. Atau, lanjut Haryono, temuan penyimpangannya tidak disampaikan dan sengaja ditutup-tutupi. Akibatnya, banyak aktivitas korupsi yang tidak terungkap.
"Nah, baru setelah datang pihak lain, misal BPK, apalagi dari penegak hukum, itu baru terungkap. Karena itu tadi, mereka tidak kapabel, tidak kompeten, tidak independen, sehingga banyak hal yang ditutupi," ujar Mantan Pimpinan KPK ini.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Irjen Kemendes PDTT berinisial SUG dan beberapa pejabat lain sebagai tersangka dugaan kasus suap pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). SUG dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.