REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menilai jangan menarik institusi TNI untuk menangani dan menindak terorisme karena hal itu cara berpikir mundur dan kontraproduktif dengan agenda reformasi.
"Reformasi sektor keamanan dalam negeri seharusnya terus bergerak maju dengan menunjukkan konsistensi pada pendekatan hukum sipil sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana," kata Bambang di Jakarta, Senin (29/4).
Ia menilai peran masing-masing elemen bangsa harus proporsional dalam menangani terorisme sesuai peraturan perundang-undangan serta derajat tantangannya.
Karena itu, menurut dia, kebutuhan kontribusi TNI memerangi tindak pidana terorisme tidak berstatus otomatis atau menjadi fungsi yang dipermanenkan dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Kontribusi TNI dalam konteks itu bersifat insidentil, disesuaikan kebutuhan serta derajat permasalahan, dan harus berdasarkan perintah Presiden RI selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara," ujarnya.
Politikus Partai Golkar itu menegaskan pemanfaatan oleh negara atas kekuatan dan kemampuan TNI harus tetap berpijak pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Bambang menjelaskan selain menetapkan tugas pokok dan fungsi TNI, kedua UU itu juga sudah menetapkan 14 kegiatan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk kontribusi TNI dalam pemberantasan terorisme dan gerakan separatisme bersenjata.
"Karena itu, sama sekali tidak terlihat urgensi menambah atau memperluas tugas pokok dan fungsi TNI melalui revisi Undang-undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," katanya.
Pasal 43B ayat (1) draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menetapkan bahwa kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, TNI serta instansi pemerintah terkait, sesuai kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
Pasal 43 A ayat (3) pun menetapkan cakupan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme sangat luas seperti pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, penyiapan kesiapsiagaan nasional dan kerja sama internasional.
Bambang menilai peran dan kontribusi TNI dalam operasi Satgas Tinombala gabungan TNI-Polri memberantas teroris di Poso, Sulawesi Tengah harus diapresiasi namun tidak dengan cara menambah tugas dan wewenang TNI memberantas terorisme.
Dia menilai menempatkan dan memberi wewenang TNI pada Pasal 43A ayat (3) dan 43B ayat (1) menjadi tidak masuk akal dan bahkan tidak sejalan dengan agenda reformasi mewujudkan keamanan dan ketertiban umum di dalam negeri.
Menurutnya agenda itu menyepakati penegakan hukum yang berpijak pada hukum sipil sehingga segala sesuatunya harus tunduk dan seturut KUHAP.