REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memberi tanggapan atas keputusan Amerika Serikat (AS) yang menarik diri dari Kesepakatan Paris. Keputusan tersebut dinilai tidak sejalan dengan komitmen internasional yang berupaya mengatasi dampak negatif dengan adanya perubahan iklim global.
Kesepakatan Paris berisi sejumlah ketentuan mengenai iklim secara komprehensif yang untuk pertama kalinya ada di dunia. Perjanjian ini dibuat pada 2015 lalu dengan tujuan utama menjaga kenaikan rata-rata suhu global.
Negara-negara yang terlibat dalam Kesepakatan Paris diharuskan mengurangi emisi karbon yang rentan membuat perubahan iklim atau pemanasan global. Saat ini, sebanyak 147 dari 197 negara telah menandatangani perjanjian itu.
"Indonesia selama ini meyakini Perubahan iklim adalah tantangan global yang membutuhkan kerjasama dan kontribusi banyak pihak. Karena itu, keputusan AS menarik diri dari Kesepakatan Paris tidak sejalan dengan komitmen internasional," ujar juru bicara Kemenlu RI, Armanatta Nasir dalam press briefing di Jakarta, Jumat (2/6).
Indonesia juga memandang bahwa setiap permasalahan maupun tantangan global, membutuhkan kerjasama dan kontribusi dari seluruh pihak, baik negara maju dan maupun berkembang. Tentunya hal ini sesuai dengan prinsip dan kesepakatan internasional yang dicapai dalam kesepakatan bersama.
AS menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi Kesepakatan Paris pada November 2016 lalu. Pada September di tahun itu, mantan presiden Barack Obama menyetujui untuk mematuhi isi perjanjian.
Trump yang mulai menjabat sejak 20 Januari lalu sebagai Presiden AS mengaku keberatan dengan kesepakatan itu. Ia menilai bahwa ketentuan yang ada dalam perjanjian Paris hanyalah tipuan yang dibuat oleh Cina.
Sepanjang kampanye tahun lalu, Trump berulang kali mengatakan bahwa isi kesepakatan itu berdampak sangat buruk bagi perekonomian AS. Miliarder itu melihat banyak kemungkinan bahwa birokrat asing memanfaatkan hal itu untuk mengendalikan jumlah energi yang dimiliki Negeri Paman Sam.
Sejumlah analis menilai penarikan diri AS dari Kesepakatan Paris membuat dunia kesulitan untuk mencapai tujuan menyelamatkan lingkungan dari pemanasan global. Selama ini, negara adidaya itu telah menyumbang sekitar 15 persen emisi karbon global.
Anggota G7 yang terlibat dalam Kesepakatan Paris sebelumnya juga telah mengingatkan agar AS terus menjaga komitmen dalam perjanjian. Salah satu alasan utama pentingnya komitmen AS adalah karena negara itu merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar kedua setelah Cina.