REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengatakan serangan bom bunuh diri yang terjadi pekan lalu di jantung ibukota Kabul adalah serangan paling mematikan sejak invasi AS ke Afghanistan pada 2001. Serangan yang berasal dari bahan peledak di dalam truk itu telah menewaskan lebih dari 150 orang.
Serangan tersebut menambah kekhawatiran mengenai apakah pasukan Afghanistan dapat mengalahkan Taliban atau kelompok afiliasi ISIS lainnya tanpa bantuan dari pasukan AS. Pasukan AS secara formal telah mengakhiri misi tempur mereka pada akhir 2014 dan beralih peran menjadi pasukan kontraterorisme.
Jumlah Korban Tewas Serangan Bom di Kabul Capai 150 Orang
Presiden Ashraf Ghani mengungkapkan fakta mengejutkan itu dalam acara Kabul Process, sebuah pertemuan antara 23 negara, Uni Eropa, PBB, dan NATO, yang membahas masalah keamanan dan politik di Afghanistan. Dia mengaku telah mengundang Taliban untuk melakukan perundingan damai.
Ia menawarkan kesempatan terakhir bagi kelompok tersebut untuk menghentikan pemberontakan yang telah berjalan selama 16 tahun. Taliban juga ditawari untuk bergabung dalam proses politik.
"Jika Taliban ingin bergabung dalam perundingan damai, pemerintah Afghanistan akan mengizinkan mereka membuka kantor, tapi ini adalah kesempatan terakhir mereka," kata Ghani, dikutip The Independent.
Taliban terus memperluas jangkauan mereka selama dua tahun terakhir. Kelompok ini telah merebut kendali beberapa distrik di berbagai negara bagian. Upaya pendamaian di masa lalu telah gagal. Taliban menolak untuk bernegosiasi dengan pemerintah sampai semua pasukan asing pergi.
Pemerintah Afghanistan yang didukung AS juga berjuang untuk memerangi kelompok afiliasi ISIS yang telah banyak melakukan serangan. Ghani mengatakan, selama dua tahun terakhir sebanyak 11 ribu militan asing telah bergabung dengan grup tersebut.