REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Peluang Sumatra Barat (SUmbar) sebagai sentra bawang merah di Pulau Sumatra sangat besar. Karena produksi mencapai 85 ribu ton per tahun dengan kebutuhan di tingkat lokal hanya 15 ribu ton per tahun.
"Surplus bawang merah 70 ribu ton per tahun ini bisa disalurkan untuk mengisi kebutuhan daerah di Sumatra," kata Kepala Bulog Sumbar, Benhur Ngkaimi di Padang, Kamis (22/6).
Namun penyaluran itu tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau bergantung pada daya serap Bulog terhadap komoditas tersebut. Butuh campur tangan dan keseriusan pemerintah daerah untuk mewujudkannya, terutama dalam menjalin kesepahaman antar provinsi agar mau menyerap bawang merah asal Sumbar.
"Tanpa itu, sebagian besar bawang merah Sumbar tetap akan berada di dalam daerah hingga secara otomatis harga anjlok dan merugikan petani," kata dia.
Apalagi menurut dia, bawang merah adalah komoditas rentan rusak dalam masa penyimpanan. Paling lama, komoditas itu hanya bisa bertahan satu bulan. Setelahnya kualitas akan menurun drastis. "Belum ada teknologi, setahu saya, yang bisa memperpanjang masa penyimpanan bawang. Beda dengan beras," kata Benhur.
Hal itu menyebabkan, satu bulan pasca panen, komoditas itu sudah harus tersalur ke provinsi lain di Sumatra. Di situlah peran pemerintah, untuk menjamin ketersediaan pasar yang bisa menampung bawang merah asal Sumbar. "Secara kualitas, bawang merah Sumbar tidak kalah dari Brebes yang menjadi sentra bawang di Indonesia, karena itu pasti bisa bersaing," kata dia.
Jika kesepahaman itu terbentuk, Bulog Sumbar menurutnya akan membantu mempersiapkan infrastruktur penunjang untuk memberikan dukungan, seperti gudang dan sarana transportasi.
Sementara itu, harga bawang merah di Kabupaten Solok yang sempat turun hingga Rp 11 ribu per kilogram, saat ini telah naik di atas Rp 15 ribu per kilogram. "Saat Bulog melakukan serapan komoditas, ternyata sudah sulit mencari dengan harga Rp 15 ribu perkilogram. Sudah naik harganya," kata dia.