REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta tak terlalu kaku dalam membahas Rancangan Undang Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Sebab kalau tetap "keras kepala", mandeknya pembahasan RUU Pemilu bisa sampai ke Rapat Paripurna.
''Harus ada tarik ulur lah. Kalau semuanya ngotot -ngototan pastinya deadlock, tidak selesai-selesai, jadi tarik ulur harus ada kurang lebih,'' ujar Politikus Golkar Mahyudin, di Jakarta, Senin (26/6).
Ia mencontohkan, pemerintah misalnya mengusulkan Presidential Treshold 20 persen kursi atau 25 persen suara sah. Tapi Parliamentary Tresholdnya diturunkan, terutama terkait daerah pemilihan (dapil) dan jumlah dapil.
''Saya kira kompromi saja. Apa sih yang nggak bisa selesai dengan musyawarah mufakat. Jadi tidak perlu ada yang harus keras kepala, memaksakan kehendaknya,'' ujar Mahyudin.
Dengan kompromi, lanjut Wakil Ketua MPR tersebut, paling tidak bisa mengurangi kemungkinan risiko deadlock. Sehingga, pembahasan RUU Pemilu bisa selesai di tingkat Pansus.
Ia juga mengapresiasi wacana presiden mengumpulkan ketua umum partai politik terkait masalah ini. ''Tapi kalau saya pribadi ya harusnya pemerintah jangan terlalu kaku. Harus ada tarik ulur juga,'' ujar dia.