Selasa 27 Jun 2017 11:52 WIB

AS Peringatkan Potensi Serangan Senjata Kimia di Suriah

Rep: Puti Almas/ Red: Agus Yulianto
Jasad korban serangan senjata kimia di Ghouta, Suriah (Ilustrasi)
Foto: AP/Shaam News Network
Jasad korban serangan senjata kimia di Ghouta, Suriah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengidentifikasi adanya potensi serangan senjata kimia kembali terjadi di Suriah, Senin (26/6). Negara adidaya itu memberi peringatan keras terhadap rezim Pemerintah Suriah, yang diyakini merencanakan serangan dengan senjata terlarang tersebut.

Pada 4 April lalu, terjadi salah satu insiden besar yang melibatkan penggunaan senjata kimia di Suriah. Penggunaan senjata kimia diduga kembali dilakukan oleh Pemerintah Suriah. Serangan terjadi di salah satu kota yang dikuasai oposisi negara itu, tepatnya di Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib.

Setidaknya lebih dari 80 orang tewas. Dari laporan, korban yang terkena serangan tersebut menjadi kesulitan bernapas dan kejang-kejang. Bahkan, beberapa diantaranya mengeluarkan busa dari mulut, sebagai dampak dari dugaan diluncurkannya racun kimia.

AS telah menuding Pemerintah Suriah berada di balik serangan tersebut. Salah satu alasannya didasarkan oleh sebuah penyelidikan yang dilakukan PBB bersama dengan OPCW pada Oktober dengan 2016 lalu.

Saat itu, ditemukan bukti militer Suriah menggunakan bom klorin. Mereka melakukan beberapa kali serangan itu sepanjang konflik di negara itu sejak 2011 lalu, namun kejadian berlangsung sekitar pada 2014 dan 2015 lalu.

Presiden Suriah Bashar Al Assad kemudian diduga terkait langsung dengan perintah penggunaan senjata kimia. Ia disebut oleh penyelidik internasional bertanggung jawab bersama dengan saudara laki-lakinya karena melakukan salah satu jenis kejahatan perang itu.

"Pemerintah Suriah akan membayar harga yang 'mahal' jika seragan dengan menggunakan senjata kimia yang merupakan pembunuhan massal warga sipil kembali terjadi," ujar pernyataan Gedung Putih, dilansir BBC, Selasa (27/6).

AS menegaskan, saat ini, pasukan militer negaranya berada di Suriah untuk membantu memukul mundur kelompok militan diantaranya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Namun, pihaknya tak akan segan untuk meluncurkan serangan terhadap rezim Assad, apabila pelanggaran terhadap hukum internasional kembali terjadi di wilayah negara Timur Tengah itu.

Sebelumnya, Negeri Paman Sam juga telah melakukan langkah balasan atas dugaan penggunaan senjata kimia oleh Pemerintah Suriah pada 4 April lalu. AS menembakkan rudal jelajah Tomahwak ke pangkalan udara militer Suriah di Shayrat, Provinsi Homs yang disebut menjadi gudang penyimpanan senjata berbahaya tersebut pada 7 April, atau hanya tiga hari setelah insiden serangan di Khan Sheikhoun berlangsung.

Penggunaan senjata kimia dilarang di bawah hukum internasional dan termasuk dalam kategori kejahatan perang. Penyelidikan yang dilakukan saat ini di Suriah tidak memiliki kekuatan hukum.

Suriah juga bukan merupakan anggota dari Pengadilan kriminal Internasional (ICC). Namun, dugaan kejahatan perang dapat dirujuk ke ICC melalui Dewan Keamanan PBB.

Pada 2013 lalu, Pemerintah Suriah pernah membuat kesepakatan untuk menghancurkan seluruh senjata kimia yang negara itu miliki. Perjanjian untuk melakukan tindakan itu ditengahi oleh Rusia dan AS.

Pemerintah Suriah telah membantah secara tegas terlibat di balik dugaan serangan dengan senjata kimia yang terjadi selama konflik berlangsung di negaranya. Sementara itu, sekutu utama rezim Assad, Rusia menjelaskan bahwa serangan udara yang terjadi adalah serangan udara untuk menargetkan gudang atau laboratorium yang menjadi tempat produksi senjata kimia oleh kelompok oposisi serta militan di Provinsi Idlib. Bahkan, dari gudang atau laboratorium itu, senjata kimia yang diproduksi juga didistribusikan kepada kelompok ektremis di Irak.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement