REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presidium Alumni 212 menyambut baik digelarnya pertemuan antara GNPF-MUI dan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Ahad (25/6) lalu. Namun untuk upaya rekonsiliasi ke depan, Presidium Alumni 212 tetap meminta dialog dapat digelar ditempat netral dan bersifat terbuka.
Ansufri Idrus Sambo selaku ketua Presidium Alumni 212, mengatakan, rekonsiliasi atau dialog nasional harus digelar ditempat netral, bukan di Istana Negara atau lembaga pemerintahan lainnya. Lalu dalam dialog tersebut, semua komponen anak bangsa, baik dari kalangan ulama, aktivis, tokoh nasional juga harus dilibatkan dalam rekonsiliasi tersebut.
"Karena semuanya mempunyai kedudukan yang setara dengan pemerintah dalam menyelamatkan bangsa dari kehancuran dan perpecahan," kata Ansufri melalui siaran pers pada Republika.co.id Rabu (25/6).
Selain itu, rekonsiliasi harus digelar secara terbuka dan disiarkan media. Sehingga ummat dan rakyat mengetahui apa yang dibahas dalam pertemuan tersebut. Menurut dia, poin-poin tersebut dinilai penting demi menjaga kepercayaan dan meniadakan kecurigaan. "Istilahnya tidak ada lagi dusta di antara kita," tegas Ansufri.
Adapun agenda pertemuan rekonsiliasi, papar Ansufri, yakni membahas masalah penghentian diskriminasi hukum dan diskriminasi ekonomi yang hanya berpihak pada kelompok tertentu, meredam bangkitnya komunisme serta penuntasan megakorupsi seperti BLBI, Sumber Waras, Reklamasi dan lain-lain.
Sebelumnya, upaya rekonsiliasi berawal dari sebuah rekaman sambutan Habib Rizieq Shihab di Tanah Suci yang diputarkan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). Dalam rekaman tersebut, Habib Rizieq mengusulkan rekonsiliasi pada pemerintah sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah antara umat Islam dan pemerintah. Dia juga menyebut, jika usulan rekonsiliasi gagal atau selalu ditolak maka tidak ada kata lain selain revolusi atau memberi perlawanan.