REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Golkar tetap bertahan atas sikapnya yang menginginkan besaran ambang batas pengajuan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR dan 25 persen perolehan suara sah nasional.
Hal itu disampaikan Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pemilu dari F-Partai Golkar Rambe Kamarul Zaman, menyusul permintaan sejumlah fraksi agar pemerintah dan tiga fraksi yakni PDIP, Golkar dan Partai Nasdem mau turun dengan besaran presidensial thresholdnya.
"Bagi saya pemerintah yang mengajukan ini tetap sebagaimana yang ada diajukan 20-25 dan alasan yang sama Golkar juga, masih dalam posisi itu," ujar Rambe saat dihubungi pada Ahad (9/7).
Menurutnya, sikap sejumlah fraksi yang semula menginginkan presidential threshold ditiadakan atau nol persen dan kini fleksibel mau menaikkan presidential threshold, menandakan perdebatan kini tidak lagi soal konstitusional maupun inkonstitusional keberadaan presidential threshold dalam Pemilu. Sehingga dengan begitu, tarik ulur yang diinginkan fraksi saat ini justru mengarah pada kepentingan.
"Itu kan sama saja. Sudah persoalan kepentingan itu artinya kan. Iya kan jadi bukan perkara misalnya tidak ada karena serentak, sudah digunakan tapi kalau sudah ini ya terus tawarlah 10-15 itu, 20-25 persen apa bedanya," ujarnya.
Sementara, alasan Golkar juga bersama fraksi lainnya mendukung pemerintah tetap di angka 20-25 persen lantaran demi menjaga kualitas demokrasi. Apalagi besaran 20-25 persen telah dilakukan di beberapa pemilu sebelumnya dan di Pilkada.
Karenanya, ia mengklaim tiga fraksi tetap solid mendukung besaran 20-25 persen tetap dipertahankan. "Nggak berubah. Tapi ya nanti kita liatlah perkembangan hari beberapa hari ke depan," ujarnya.
Karenanya, ia pun tidak membantah jika semua fraksi tetap bersikeras terhadap poin tersebut maka peluang voting di rapat paripurna semakin terbuka.
"Kemungkinan bisa. Tapi nanti kita lihatlah. Kita berharap selesai di Pansus lah ya," ujar Rambe.
Sementara, untuk empat isu lainnya yakni kemungkinan yang akan diputus pada rapat pengambilan keputusan tingkat I pada Senin (10/7) esok. Namun fraksi Golkar, masih belum setuju di dua isu yakni terkait metode konversi suara dan alokasi kursi per Dapil, yang arahnya kebanyakan fraksi meminta metode kuota hare dan 3-10.
Sementara dua isu lainnya yakni sistem pemilu terbuka dan ambang batas parlemen sekitae empat persen. "Kita mau saint lague murni, harus ada pengertian dan pemahaman yang sama gitu lho. Sama dengan misalnya distrik magnitude Golkar mau 3-8, Tapi ya sain lague murni. Ya cari titik temunya, nggak apa-apa deh 3-10 asal jangan kuota hare," ujarnya.
Adapun Pansus RUU Pemilu akan mengadakan rapat Panja dengan pembahasan dan penetapan Dapil DPR/DPRD Provinsi serta Laporan Timus/Timsin kepada Panja pada Senin (10/7) pukul 10.00 WIB. Kemudian disusul rapat kerja dengan pemerintah yang isinya laporan Panja kepada Pansus, pembacaan Naskah disertai pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan. Begitu juga sambutan dari pihak Pemerintah yang kemudian diakhiri dengan Penandatanganan RUU Pemilu.
Sebelumnya disebut terjadi pergeseran signifikan sikap fraksi pendukung presidential threshold ditiadakan atau nol persen ke jalan tengah yakni 10-15 persen.
Wakil Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-undang Penyelenggaraan Pemilu Yandri Susanto membenarkan jika fraksinya Partai Amanat Nasional (PAN) kini fleksibel terkait isu ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold) dalam RUU Pemilu. "Isu krusial presidential threshold PAN fleksibel. Kalau misalkan di angka 10 persen itu menjadi kata mufakat dan tidak ada kubu-kubuan dan voting-votingan saya kira lebih baik," kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (6/7).