REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris menanggapi kritik terhadap program deradikalisasi yang dinilai tidak relevan menangkal terorisme. Menurut Irfan, yang juga Direktur Deradikalisasi BNPT itu, deradikalisasi sesungguhnya menjadi upaya yang dilakukan tidak hanya terkait teroris. "Tetapi juga agar orang tidak radikal, anarkistis, maupun ekstremis," kata Irfan, Senin (10/7).
Menurut Irfan, program deradikalisasi ditujukan kepada narapidana teroris, mantan napi, keluarga dan jaringannya. Deradikalisasi dilakukan sebelum mengembalikan teroris ke lingkungan masyarakat. Irfan mengatakan radikal anarkistis atau extremis selalu membalut aksinya dengan agama.
Dia mengatakan, deradikalisasi semacam upaya komprehensif. BNPT mengakui penangkalan terorisme tak bisa hanya dilakukan instansi pemerintah. Diperlukan peran seluruh elemen bangsa, termasuk warga sipil. Semua komponen bangsa dan lapisan masyarakat perlu bahu membahu menangkal penyebaran paham radikal anarkis
Segala macam jenis teror, bail kepada masyarakat maupun kepolisian saat harus terus diwaspadai. "Kejahatan luar biasa terorisme harus menjadi musuh bersama. Strategi program dan kebijakan pun diakuinya harus luar biasa," katanya.
Sebelumnya, muncul anggapan bahwa program deradikalisasi BNPT tidak relevan menangkal terorisme. Sebab, teroris pada dasarnya tidak punya nalar sehat. Mereka justru berpemikiran dangkal, bukan radikal yang megandung arti mendalam. "Mereka hanya ekstrem. Maka bagaimana mungkin memberantas kedangkalan dengan melakukan pendangkalan (radikal= mendalam)?," kata Pengamat Teroris dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.