REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang KPK dalam beberapa pekan ini menjalankan sejumlah agenda pertemuan dengan berbagai pihak terkait tugas penyelidikan yang akan dilakukan hingga September mendatang. Salah satu agenda yang mengundang polemik di berbagai kalangan adalah keputusan untuk mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat dan bertemu dengan perwakilan narapidana kasus korupsi yang menjalani hukuman di tempat itu.
Pansus Hak Angket menegaskan kunjungan ke Lapas Sukamiskin dan Lapas Pondok Bambu,Jakarta adalah untuk menggali informasi dari narapidana korupsi. Wakil Ketua Pansus, Risa Mariska mengatakan mereka ingin menggali informasi dari narapidana korupsi terhadap standar prosedur yang dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari semua proses penyidikan di institusi tersebut.
Menurut dia, Pansus akan fokus ke substansi soal proses SOP pemeriksaan di KPK dan tidak bicara mengenai kasus hukum. Dia mengatakan kemungkinan pertanyaan anggota Pansus akan berkembang sebagai bentuk pendalaman misalnya mengenai pembayaran denda yang sudah dibayarkan para narapidana tersebut.
Hal itu, menurut dia, ada kaitannya dengan pengembalian kerugian negara yang menjadi domain KPK, sehingga Pansus ingin melihat berapa jumlah yang diterima institusi itu dan berapa yang telah dibayarkan serta mekanisme yang dijalankannya.
Sebelum mengunjungi lapas, Pansus Hak Angket juga bertemu dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Risa mengatakan pertemuan itu berkaitan dengan pengelolaan keuangan, menyamakan persepsi karena Pansus tidak bisa kerja sendiri. Pansus membutuhkan lembaga lain berkaitan dengan kerja Pansus.
Ia menjelaskan bahwa dalam pertemuan yang berlangsung tertutup itu dibicarakan beberapa poin substansial. "Pada intinya sudah berkonsultasi dengan BPK menyamakan visi dan misi karena kami sebagai Pansus tidak bisa kerja sendiri, poinnya itu," ujarnya.
Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan pertimbangan lain Pansus belum bisa membocorkan isi pertemuan tertutup tersebut adalah karena masih akan melakukan pendalaman. Selain menemui sejumlah narapidana kasus korupsi, Pansus juga mengundang sejumlah ahli untuk didengarkan pandangannya mengenai hak angket dan kaitannya dengan komisi pemberantasan korupsi.
Salah satu ahli yang didengarkan keterangannya adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra pada awal pekan ini. Yusril Ihza Mahendra menegaskan DPR sebagai lembaga legislatif dapat menggunakan Hak Angket terhadap KPK sebagai institusi eksekutif dalam konteks pengawasan kinerja lembaga tersebut. KPK dibentuk dengan UU maka untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut maka DPR dapat melakukan Hak Angket terhadap KPK kata Yusril dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Khusus Hak Angket KPK, di Gedung Nusantara, Jakarta, Senin (10/7).
Dia menjelaskan posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah lembaga eksekutif karena institusi tersebut melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Karena itu, menurut dia, pada awal pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam pandangan umum fraksi-fraksi maupun pembahasan ditingkat Panitia Khusus terjadi kekhawatiran tumpang tindih dengan lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.
"Dimana kedudukan KPK? Kalau masuk yudikatif jelas tidak, dia bukan badan pengadilan yang bisa mengadili dan memutus perkara. Badan legislatif juga bukan karena tidak menghasilkan produk peraturan perundang-undangan," ujar Yusril.
Yusril mengatakan saat itu dirinya menjelaskan tumpang-tindih atau "overlapping" tugas KPK itu tidak akan terjadi dalam melakukan tugas-tugas di bidang penyelidikan dan penuntutan dengan syarat-syarat tertentu. Menurut dia, syarat-syarat tertentu itu seperti penyelidikan dan penyidikan penyelenggara negara, kerugian negara di atas Rp 1 miliar, dan perkara yang menarik perhatian masyarakat.
"Jadi dengan tiga pembatasan itu maka 'overlapping' tidak terjadi. Lalu bagaimana pelaksanannya? Itu tugas di Pansus Angket untuk penyelidikan, saya tidak bahas itu," ujarnya.
Selain itu menurut Yusril, pada 1950 Hak Angket kembali diberlakukan di DPRS yang merupakan gabungan KNIP dan anggota RIS lalu lahir UU nomor 7 tahun 1954 tentang angket. Yusril menegaskan, angket bukan sesuatu yang baru jadi sudah dijalankan di sistem parlementer dan melekat di DPR. Dia juga menjelaskan, dalam UUD 45 disebutkan tugas DPR yaitu membuat UU, pengawasan, dan membahas anggaran serta dalam rangka tugas pengawasan DPR dibekali hak untuk menyelidiki.