Selasa 11 Jul 2017 11:47 WIB

Kisah Relokasi Warga Bukit Duri dan Janji Anies-Sandi

Rep: Sri Handayani/ Red: Andri Saubani
Petugas Satpol PP melakukan penertiban bangunan di Bantaran Kali Ciliwung, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (11/7).
Foto: REPUBLIKA/Sri Handayani
Petugas Satpol PP melakukan penertiban bangunan di Bantaran Kali Ciliwung, Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (11/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Waris (54) dan beberapa perempuan lain menatap bekas rumah mereka dari ujung gang, di pinggir Jalan Bukit Duri II, RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (11/7). Beberapa pria tampak berlarian ketika terdengar suara gemuruh rumah runtuh diterjang alat berat disertai puing-puing berjatuhan. "Saya mau melihat terakhir kalinya. Ini rumah kenang-kenangan. Satu-satunya yang saya punya," ujar dia.

Warga RT 003 ini sengaja datang dari Rusun Rawa Bebek ke Bukit Duri sejak pukul 05.00 WIB. Sekitar pukul 09.30 WIB, rumahnya yang terletak di dalam gang sempit telah rata. "Habis lebaran saya pindah total (ke Rusun Rawa Bebek)," kata dia.

Ia menceritakan, tak ada protes dari warga atas penggusuran yang terjadi. Mereka umumnya menyadari telah menempati area yang seharusnya tak boleh dijadikan permukiman. Namun, ia meminta waktu hingga dua pekan setelah Idul Fitri, sembari menunggu anak-anak menyelesaikan sekolah.

Sembari menunggu, sebagian warga mulai memindahkan barang-barang ke Rusun Rawa Bebek. Ada yang mengangkut sendiri barang-barang mereka secara bertahap, ada pula yang meminta bantuan Satpol PP. Sebagian material juga dijual ke pengepul kayu.

Menurut Waris, bangunan di Rusun Rawa Bebek memang secara fisik tampak lebih baik. Namun, ia mengalami kesulitan untuk mengakses area sekitar. "Kalau di sini ke mana-mana dekat. Usaha dekat. Di sana nganggur. Belum ada usaha. Belum ada pasar. Ke puskesmas jauh. Masjid belum ada," kata dia.

Di Bukit Duri, Waris menghidupi keluarganya dengan berdagang gorengan. Ia berjualan di dekat Penjara Salemba. Di lokasi yang baru, ia mengaku belum terpikir untuk membuat usaha baru. "Kayak masih buntu. Mau dagang, di rusun yang dagang banyak, yang belanja nggak ada," kata dia.

Cerita serupa juga diungkapkan Mariam, warga RT 004. Saat ditemui, ia sedang berjualan minuman dan makanan di bawah tenda, tak jauh dari lokasi penggusuran. Ia mengaku sudah 20 tahun berjualan. Mariam membuka warung di Jalan Bukit Duri II. Bersama suami dan anaknya, ia melayani warga sekitar selama 24 jam setiap hari.

Duka datang dua tahun lalu, ketika Satpol PP Jakarta Selatan menggusur warung kecilnya. Ia sempat berhenti berdagang, rehat untuk menghilangkan tekanan batin dan trauma.

Tak lama kemudian, ia kembali berdagang di rumah. "Nyewa tempatnya mahal Rp 25 juta per tahun. Tapi sekarang kena gusur juga rumahnya," ujar Mariam.  Ia mengaku tak bisa berjualan di Rusun Rawa Bebek, sebab banyak warga berjualan dengan produk yang sama. Padahal, yang membeli masih sebatas warga sekitar rusun.

Ia berharap pemerintah menyediakan pusat dagang di luar lokasi rusun, agar para pedagang bisa menjangkau pembeli yang lebih luas. "Kalau di luar bisa banyak yang beli, bukan orang rusun aja," kata dia.

Warga juga mengeluhkan fasilitas air dan listrik di tempat tinggal yang baru. Warga RT 003, Kurniasih, mengaku telah menghabiskan Rp 44 ribu selama tinggal sepekan di rusun. Belum termasuk biaya air yang kabarnya akan mulai berbayar setelah sebulan tinggal di sana.

Di Bukit Duri ia hanya menghabiskan rata-rata Rp 150 ribu per bulan untuk mencukupi kebutuhan air dan listrik untuk dua keluarga. Peningkatan pengeluaran ini membuat pening kepala. Ia juga mulai memikirkan biaya sewa rusun yang nantinya akan dibayar Rp 230 ribu per bulan.

Beban biaya yang ditanggung juga semakin besar, sebab anak-anak khawatir dengan kualitas air PAM jika dikonsumsi. Mereka terpaksa membeli air galon Rp 20 ribu untuk minum.

Pagi ini, ia keluar rusun sejak jam 05.30 WIB untuk berbelanja. Karena minimnya akses, ia harus merogoh uang Rp 10 ribu untuk membayar ojek sekali jalan. Belum ditambah biaya naik angkutan umum Transjakarta.

Ia menatap nanar bekas rumahnya, tak punya pilihan lain. Ia menyaksikan rumah yang telah dihuni sejak usia 10 tahun itu rata dengan tanah. "Ini kenang-kenangan Ibu sejak masih kecil, sampai menikah, sampai sekarang sudah punya tiga cucu," kata dia.

Pada 1981, ia menikah dengan seorang pria Jawa. Mereka membeli sepetak tanah yang hanya cukup untuk menaruh kasur dan sebuah lemari. Harga sewa waktu itu Rp 15 ribu.

Bantaran Kali Ciliwung yang menyimpan sebagian besar sejarah hidupnya kini harus terpaksa ditinggalkan. Setiap hari, ia dan kelima anaknya membawa barang-barang secara bertahap. "Ibu bawa dua kantong-dua kantong. Pindah tiga kali. Kemarin bawa kulkas sama yang berat-berat. Yang terakhir diangkut naik bajaj," kata dia.

Kini tak ada pilihan lain. Para warga menanti janji pasangan Gubernur Terpilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang disampaikan semasa kampanye. "Janjinya mau rusunami, jadi hak milik. Kalau Anies jadi gubernur kan dijanjiin hak milik. Kalau Ahok kan nyewa, pada nggak mau. Makanya kemarin sebagian besar milih Anies. Kami nunggu program Anies. Mudah-mudahan benar. Kalau janji-janji doang, ya nggak tahu deh," kata Waris.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement