Selasa 11 Jul 2017 20:56 WIB

Kekalahan ISIS dan Luka Warga Mosul

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi (tengah) memegang bendera nasional saat tiba di Mosul, Irak, Ahad, 9 Juli 2017.
Foto: Iraqi Federal Police Press Office via AP
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi (tengah) memegang bendera nasional saat tiba di Mosul, Irak, Ahad, 9 Juli 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSUL -- Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi telah menyatakan kemenangan pasukan militernya atas ISIS di Mosul pada Ahad (9/7). Kemenangan itu disambut suka cita oleh segenap rakyat Irak. Mereka turun ke jalan-jalan sambil mengibarkan-ngibarkan bendera nasional Irak untuk merayakan kekalahan ISIS.

Mosul memang diketahui sebagai benteng terbesar ISIS di Irak. Di kota tersebut, pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahan ISIS di Irak dan Suriah pada 2014.

Namun di balik semaraknya perayaan kemenangan militer Irak atas ISIS, peperangan di Mosul masih menorehkan luka dan trauma mendalam bagi warganya. Kebengisan perang membuat jiwa mereka terkoyak. Sebagian dari mereka bahkan tak percaya harus menghadapi situasi dan kondisi yang sangat kelam dalam hidupnya.

Salih Mohammad adalah salah satu warga Mosul Barat yang harus merasakan pahitnya peperangan Mosul. Perang telah merenggut sisi yang cukup berharga di hidupnya. "Dua saudara laki-laki saya hilang dan saya tidak tahu apakah mereka masih hidup atau tidak," kata Mohammad seperti dikutip laman The Guardian.

Ketika perang antara militer Irak dengan ISIS pecah sembilan bulan lalu di Mosul, Mohammad memutuskan untuk meninggalkan kotanya dan mengungsi. Ia tinggal di sebuah kamp pengungsi di dekat Mosul.

Namun setelah mengungsi, Mohammad mengaku tak dapat kembali lagi ke Mosul. Sebab perang telah memporak porandakan lingkungan tempat tinggalnya. "Rumah saya hancur dalam pertempuran dan kami datang ke sini pekan lalu. Tidak ada keamanan di Mosul sekarang karena bahkan di timur kota masih ada sel-sel tidur ISIS dan mereka kadang-kadang menyerang," ujarnya.

Pengalaman Mohammad juga dirasakan oleh Hafsa, seorang ibu berusia 40 tahun. Ia bersama delapan anaknya memutuskan mengungsi ketika peperangan di Mosul merebak dan mulai meruntuhkan seisi kota. "Kami kehilangan segalanya, rumah kami, mobil kami, saudara-saudara kami," ungkap Hafsah.

Saat ini Hafsah masih tinggal di kamp pengungsi. Ia mengaku tidak akan kembali ke Mosul dalam waktu dekat. "Tidak ada kehidupan di sana, semuanya diratakan di Mosul Barat," katanya.

Walaupun hidup di kamp tidak ideal, namun Hafsah merasa nyaman. Setidaknya, menurut dia, tidak ada kelompok atau orang-orang yang mengancam kehidupannya serta anak-anaknya.

Hafsah menilai, masa depan Mosul berada di tangan rakyatnya dan pemerintah Irak. "Mereka perlu bekerja sama bila mereka ingin memperbaiki kehidupan di Mosul," ujarnya.

Kelompok bantuan dan hak asasi manusia internasional telah mendesak agar pemerintah Irak dapat memulihkan kondisi mental dan kesehatan waega Mosul. Mereka juga mendesak agar pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penderitaan warga Mosul diadili.

"Kengerian telah disaksikan rakyat Mosul dan pengabaian terhadap kehidupan manusia oleh semua pihak dalam konflik ini tidak boleh pergi tanpa hukuman," kata Direktur Riset Amnesty Internasional di Timur Tengah Lynn Maalouf.

Ia menilai, rakyat Mosul layak mendapat keadilan atas penderitaan yang mereka alami. "Rakyat Mosul pantas tahu dari pemerintah mereka bahwa akan ada keadilan dan pemulihan sehingga dampak mengerikan dari operasi (militer) ini ditangani dengan baik," ujar Maalouf.

Pada Selasa (11/7), Amensty Internasional mendesak pembentukan sebuah komisi independen untuk menyelidiki pembunuhan warga sipil Mosul oleh semua pihak dalam konflik tersebut, termasuk oleh pasukan Inggris yang berpartisipasi dalam kampanye militer di sana.

Amnesty Internasional juga telah menerbitkan sebuah laporan yang mendokumentasikan 45 serangan yang menewaskan sekitar 420 warga sipil. Disebutkan pula perihal digunakannya warga sipil Mosul sebagai perisai perang oleh ISIS.

Peperangan di Mosul telah memicu krisis kemanusiaan yang cukup hebat. Sekitar 920 ribu warganya telah mengungsi akibat pertempuran yang telah berlangsung selama sembilan bulan. Adapun mereka yang selamat mengalami trauma parah akibat perang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement