REPUBLIKA.CO.ID,LANSING -- Hakim distrik Amerika Serikat (AS) di Michigan, Mark Goldsmith memutuskan pemerintah tidak dapat melakukan deportasi terhadap hampir 200 imigran asal Irak yang ditangkap bulan lalu, Selasa (11/7). Putusan ini dikeluarkan didasarkan atas alasan kemanusiaan.
Hakim berpendapat bahwa para imigran akan menghadapi penganiayaan dan penderitaan jika harus dikeluarkan dari AS. Goldsmith mengatakan ia memiliki wewenang agar pemerintah menjaga warga Irak di negara bagian itu. Meski demikian, kasus deportasi terhadap mereka akan tetap berlanjut di pengadilan imigrasi.
Setidaknya 199 warga Irak ditahan di wilayah negara bagian itu, yakni Detroit dan Nashville. Kebanyakan dari mereka merupakan Katolik Chaldean dan etnis Kurdi. Karena itu, penindasan terhadap komunitas yang merupakan minoritas tersebut rentan terjadi di negara asalnya.
Meski demikian, penangkapan yang dilakukan terhadap para imigran yang dilakukan oleh petugas imigrasi ini didasari tindak pidana yang mereka lakukan. Sebagian besar dihukum atas tuduhan kejahatan berat, mulai dari pembunuhan hingga jual beli narkotika.
"Namun, mengirimkan kembali mereka ke Irak sama saja dengan membuat mereka menghadapi kematian, penyiksaam, dan penganiayaan berat lainnya sebelum kasus pidana para imigran ini diputus oleh pengadilan negara ini," ujar Goldsmith dalam putusannya, Selasa (11/7).
Beberapa dari warga Irak yang ditangkap di AS diketahui adalah anak-anak. Sebagian dari mereka juga mengaku telah melakukan kejahatan sebelum datang ke Negeri Paman Sam atau dalam waktu yang sudah lama berlalu.
Warga Irak yang sudah ditangkap dan hendak dideportasi tetap diizinkan tinggal di AS sejak adanya perubahan dari kebijakan imigrasi yang ditetapkan oleh Presiden Donald Trump. Sesuai dengan aturan yang secara resmi berlaku pada 16 Maret lalu, Irak dihapus dari daftar larangan perjalanan yang semula berlaku bagi orang-orang dari tujuh negara mayoritas Muslim.
Kebijakan imigrasi yang menjadi kontroversi di AS ini pertama kali dikeluarkan oleh Trump melalui perintah eksekutifnya pada 27 Januari lalu. Pertama kali ada tujuh negara yang berada dalam daftar larangan perjalanan, yaitu Irak, Iran, Somalia, Suriah, Sudan, Libya, dan Yaman.
Namun, Irak kemudian dihapus dari daftar dengan alasan pemeriksaan visa melalui pemerintah negara itu telah dilakukan disertai pemberian data. Dalam perkembangan terbaru, kebijakan imigrasi ini diputuskan untuk terus berlaku oleh Mahkamah Agung AS setelah sejumlah negara bagian mengajukan keberatan aturan tersebut pada 29 Juni lalu.
Namun, Mahkamah Agung AS dalam putusannya menyatakan bahwa kebijakan imigrasi yang memuat larangan perjalanan bagi enam warga dari negara mayoritas Muslim untuk datang ke Negeri Paman Sam tidak berlaku sepenuhnya. Terdapat ketentuan khusus yang memungkinkan mereka tetap dapat memasuki wilayah negara adidaya itu.
Berdasarkan putusan, para pemohon visa dari enam negara yang berada dalam daftar larangan harus memiliki hubungan dekat dan formal dengan individu atau entitas di AS untuk mendapatkan izin masuk. Aturan ini berlaku untuk 90 hari ke depan dan bagi mereka yang berstatus sebagai pengungsi 120 hari. Tahap lanjut dari kebijakan imigrasi ini nantinya diputuskan pada Oktober.