REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Tim siswi asal Afghanistan yang akan mengikuti kontes robotika di Ibu Kota Washington DC, Amerika Serikat (AS) berhasil memperoleh visa untuk melakukan perjalanan ke negara itu. Setelah dua kali ditolak, kelompok yang berjumlah enam orang itu dapat terbang ke Negeri Paman Sam untuk bertemu dengan partisipan lainnya dari seluruh dunia.
Sebelumnya, kehebohan mengenai tim robotika Afghanistan yang tidak mendapat visa ke AS mencuat pada 5 Juli lalu. Ada dua siswi dari kelompok itu, yakni Fatimah Qaderyan dan Lida Azizi yang mengaku kebingungan karena tidak tahu alasan pasti ditolaknya izin perjalanan yang mereka ajukan untuk mengikuti kompetiai.
Hal yang dialami oleh tim Afghanistan itu dikaitkan dengan kontroversi mengenai kebijakan imigrasi AS yang ditetapkan oleh Presiden Donald Trump. Di dalamnya dimuat aturan tentang larangan perjalanan bagi enam warga dari negara mayoritas Muslim.
Tetapi, saat itu tim robotika asal Iran dan Sudan justru mendapatkan visa. Bahkan, tim dari kelompok pengungsi Suriah juga dapat mengikuti kompetisi itu secara langsung ke AS. Padahal, selain negara itu berada dalam daftar, peserta yang berpartisipasi adalah pengungsi, yang menjadi sasaran utama tidak boleh memasuki negara adidaya itu dalam kebijakan imigrasi Trump.
Inilah yang memunculkan pertanyaan dari tim robotika Afghanistan. Saat itu, Departemen Luar Negeri AS juga menolak berkomentar karena masalah yang berkaitan dengan visa individu merupakan sesuatu yang bersifat rahasia dan tidak boleh dipubilkasi melalui cara apapun.
Namun, setelah penolakan visa sebanyak dua kali kepada tim Afghanistan tersebut, otoritas AS mengatakan saat ini para siswi telah dapat mengikuti kontes robotika secara langsung di Washington DC. Tidak ada istilah batalnya perjalanan bagi para peserta yang disebut sebagai calon ilmuwan itu.
"Kami sangat bangga kepada delegasi perempuan muda Afghanistan yang mewakili negaranya dengan cara yang terbaik. Apa yang dapat kami katakan adalah kami berusaha agar aspirasi mereka dalam kompetisi internasional ini terpenuhi," ujar wakil penasihat keamanan nasional AS Dina Powell dalam sebuah pernyataan, dilansir Time, Kamis (13/7).