REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris menerbitkan rancangan undang-undang (RUU) untuk memutuskan hubungan politik, keuangan, dan hukum dengan Uni Eropa pada Kamis (13/7). Hal ini merupakan sebuah langkah penting menuju Brexit, meski beberapa pihak mengatakan oposisi akan menentangnya.
RUU tersebut penting bagi pemerintah Inggris yang memiliki rencana untuk keluar dari Uni Eropa pada 2019. RUU ini juga membebaskan Inggris dari pembuatan undang-undang Uni Eropa selama lebih dari 40 tahun dan membatalkan perjanjian yang memasukkan Inggris sebagai anggota Uni Eropa pada 1972.
Jika diloloskan parlemen, RUU ini bisa menentukan masa depan Theresa May sebagai Perdana Menteri Inggris. Pemilu bulan lalu kembali membuka perdebatan mengenai Brexit, yang dinilai tidak dipersiapkan dengan baik oleh pemerintah.
"Ini adalah salah satu bagian paling signifikan dari undang-undang yang pernah dilalui parlemen dan merupakan tonggak utama dalam proses penarikan kami dari Uni Eropa," kata Menteri Brexit, David Davis, dalam sebuah pernyataan.
Pemerintah Inggris juga berhasil mengatasi negosiasi yang dilakukan dengan Uni Eropa. Inggris menerbitkan tiga makalah posisi (position papers) yang menggarisbawahi bahwa Inggris akan keluar dari badan nuklir Euratom dan meninggalkan juridiksi Pengadilan Eropa.
May menghadapi pertarungan bahkan di dalam Partai Konservatifnya sendiri. Anggota parlemen Pro-Brexit akan memberi sedikit ruang kepada May untuk bergerak, sementara pihak yang pro-Uni Eropa ingin melunakkan istilah pemutusan hubungan.
Pemberontakan kedua belah pihak bisa menggagalkan RUU tersebut dan menguji kemampuan May untuk melakukan negoisasi dan mendapat dukungan dari partai-partai oposisi. Jika dia gagal, posisinya bisa jadi tidak dapat dipertahankan.
Penerbitan RUU tersebut adalah langkah pertama dalam proses legislatif yang panjang untuk mempermudah Brexit. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh badan pengawas pengeluaran pemerintah mengatakan, sistem baru yang direncanakan Inggris mungkin tidak akan siap pada waktunya untuk Brexit.
Parlemen belum menetapkan tanggal untuk memperdebatkan RUU tersebut. RUU akan diperiksa secara ketat untuk melihat bagaimana pemerintah merencanakan proses mengalihkan UU Uni Eropa yang cukup sulit dan memakan waktu.
RUU tersebut juga memberikan kekuatan kepada menteri, dengan persetujuan parlemen, untuk memperbaiki dan memastikan RUU dapat digunakan setelah dibawa ke dalam hukum Inggris. Kekuatan ini akan berlaku hingga dua tahun, sampai Inggris meninggalkan Uni Eropa.
Partai Buruh yang menjadi oposisi utama mengatakan akan menentang RUU tersebut kecuali jika RUU memenuhi enam syarat, termasuk memberikan jaminan terhadap hak-hak pekerja. Tim Farron, pemimpin Demokrat Liberal, mengatakan dia akan berusaha melunakkan sikap May dan memberikan pengertian kepadanya.
RUU tersebut juga mendapatkan sorotan dari perusahaan-perusahaan Inggris. Sejak 52 persen warga Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa, mereka telah menghabiskan banyak waktu untuk mencari tahu bagaimana perubahan ini akan mempengaruhi bisnis mereka.
"Sebuah transisi legislatif dari lingkup ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Kami akan terus mengawasi kemungkinan adanya konsekuensi yang tidak diinginkan, yang menyebabkan beban biaya baru bagi perusahaan tertentu, sektor tertentu, atau perekonomian secara keseluruhan," kata Adam Marshall, Direktur Jenderal British Chambers of Commerce (BCC).