REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Golkar tidak akan menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) untuk memilih ketua umum menggantikan Setya Novanto yang berstatus tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Partai Golkar menilai munaslub justru sangat tidak menguntungkan konsolidasi organisasi, program, dan pemenangan Golkar.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan partainya akan menghadapi agenda penting dalam waktu dekat seperti Pilkada Serentak 2018, yang tahapannya akan dimulai pada Oktober 2017. Karena itu, Golkar tidak ingin melakukan munaslub.
Dia mengatakan alasan tersebut memang terkait dengan kondisi subyektif. Namun, dia mengatakan, ada kondisi objektif yang membuat Golkar tidak akan melakukan munaslub.
"Jadi ada kondisi objektif dan subjektif yang membuat Partai Golkar berketetapan untuk melaksanakan keputusan rapimnas tidak melaksanakan munaslub," kata ujar Nurdin usai rapat pleno DPP Partai Golkar di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta pada Selasa (18/7).
Dia mengungkapkan alasan kondisi objektif yakni tidak ada landasan hukum terkait penyelenggaraan munaslub kembali. Hal ini karena pada tahun awal ini dalam rapat konsultasi nasional merekomendasikan DPP Partai Golkar tidak melaksanakan munaslub.
"Dan, itu diatur dalam AD/ART Partai Golkar. Rapat konsultasi merekomendasikan kepada DPP agar tidak melaksanakan munaslub," kata Nurdin.
Ia melanjutkan, alasan objektif lainnya bahwa pertemuan silaturahmi DPD I Partai Golkar se-Indonesia tidak berkehendak mengadakan munaslub. Dia mengatakan perlu dipahami bahwa suara terbesar dalam setiap pengambilan keputusan internal Partai Golkar adalah DPD II dan DPD I.
"DPD I-nya tidak berkehendak mengadakan munaslub sehingga pada rapimnas di Kalimantan, kami telah memutuskan untuk tidak menyelenggarakan Munaslub," kata Nurdin.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka dalam proyek pengadaan KTP-El. Ketua KPK Agus Raharjo mengatakan penyidik menduga Setya melalui pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang saat ini menjadi tersangka mempunyai peran dalam proses perencanaan serta pengadaan barang KTP-el di DPR.
Setya melalui Andi Narogong diduga juga mengkondisikan pemenang barang dan jasa KTP-el. Tindakan ini menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari paket pengadaan Rp 5,9 triliun.