REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah divonis 5,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan, karena terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan (Alkes) rumah sakit rujukan di Provinsi Banten. Selain itu, Ratu Atut juga terbukti memeras anak buahnya hingga Rp 500 juta untuk biaya istighatsah (pengajian).
"Mengadili, menyatakan terdakwa Ratu Atut Chosiyah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 5 tahun 6 bulan ditambah denda Rp250 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan kurungan," kata Ketua Majelis Hakim Mas'ud di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (20/7).
Vonis itu lebih rendah dibanding dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Atut divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan. Putusan itu berdasarkan dakwaan pertama alternatif kedua dan dakwaan kedua alternatif pertama yaitu pasal 3 dan pasal 12 huruf e jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Hal yang meringangkan, terdakwa berlaku sopan, mengakui perbuatan dan telah mengembalikan Rp3,8 miliar," ujarnya.
Dalam dakwaan pertama, Ratu Atut disebut bersama-sama dengan Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan yaitu adik Atut, melakukan pengaturan dalam proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan provinsi Banten pada APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012 dan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan alkes RS Rujukan pemprov Banten TA 2012 sehingga memenangkan pihak-pihak tertentu dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp79,79 miliar sesuai laporan hasil pemeriksaan invstigatif BPK pada 31 Desember 2014.
Akibat perbuatan itu, Ratu Atut Chosiyah mendapatkan keuntungan sebesar Rp3,859 miliar dan menguntungkan orang lain yaitu Tubagus Chaeri Wardana Chasan sebesar Rp50,083 miliar, Yuni Astuti Rp23,396 miliar, Djadja Buddy Suhardjo Rp240 juta, Ajat Ahmad Putra Rp295 juta, Rano Karno sebesar Rp700 juta, Jana Sunawati Rp134 juta, Yogi Adi Prabowo sebesar Rp76,5 juta.
Selanjutnya menguntungkan Tatan Supardi sebesar Rp63 juta, Abdul Rohman sebesar Rp60 juta, Ferga Andriyana sebesar Rp50 juta, Eki Jaki Nuriman sebesar Rp20 juta, Suherma sebesar Rp15,5 juta, Aris Budiman sebesar Rp1,5 juta dan Sobran Rp1 juta.
Kerugian negara juga bertambah karena ada pemberian fasilitas berlibur ke Beijing berikut uang saku senilai total Rp1,659 miliar untuk pejabat Dinkes Banten, tim survei, panitia pengadaan dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan.
"Terdakwa telah menerima 25 persen dalam proses rancangan pengadaan alkes yaitu sejumlah Rp3,8 miliar," katanya.
Atut selaku pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten pada 2005 dan menjabat sebagai gubernur definitif untuk periode 2007-2012 dan 2012-2017 selalu meminta komitmen kepada para pejabat untuk loyal kepada dirinya dan adiknya Wawan yang merupakan pemilik atau komisaris utama PT Bali Pacific Pragama (PT BPP).
Atut meminta komitmen loyalitas kepala Dinas Kesehatan Banten Djaja Buddy Suhardja agar mendukung Atut sebagai gubernur Banten 2007-2012 dan 2012-2017. Djaja kemudian menandatangani surat pernyataan loyalitas pada 14 Februari 2006 di hotel Kartika Chandra Jakarta.
Atut mengarahkan Djaja agar setiap proses pengusulan anggaran maupun pelaksanaan proyek-proyek pekerjaan yang ada pada Dinas Kesehatan provinsi Banten dikoordinasikan dengan Wawan. Proyek pertama yang dikerjakan Wawan adalah pengadaan alkes RS Rujukan Pemprov Banten pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada APBD 2012.
"Dengan demikian kerugian negara mencapai Rp79,79 miliar sesuai pemeriksaan keuangan BPK, unsur merugikan keuangan negara dapat dibuktikan," ungkap hakim.
Pengadaan kedua dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran Alkes RS Rujukan Banten dalam APBD Perubahan TA 2012 dibuat 4 paket pengadan dengan Yuni mempersiapkan daftar harga yang sudah digelembungkan dengan memperhitungkan keuntungan Wawan sebesar 56,5 persen dari nilai kontrak.
Selanjutnya dalam dakwaan kedua Atut terbukti memerintahkan Kadis Kesehatan Banten Djadja Buddy Suhardja, Kadis Perindustrian dan Perdagangan dan juga Kadis Pendidikan Banten Hudaya Latuconsina, Kadis Sumber Daya Air dan Pemukiman (SDAP) Banten Iing Suwargi serta Kadis Bina Marga dan Tata Ruang Banten Sutadi untuk memberikan total Rp500 juta untuk keperluan istigasah.
Karena merasa tertekan dan takut diberhentikan oleh Atut, maka keempatnya memberikan uang Rp500 juta di rumah Atut dengan rincian Djaja sebesar Rp100 juta, Hudaya sebesar Rp150 juta, Iing sebesar Rp125 juta dan Sutadi sebesar Rp125 juta.
Pada 10 Oktober 2013, setelah uang terkumpul, Ratu Atut memerintahkan Riza Martina dan Rendi Allanikika Pratiaksa menyerahkan uang sebesar Rp495 juta kepada ustaz Haryono di rumahnya di Bekasi, selanjutnya Haryono melakukan 9 kali istighatsah di Bekasi untuk Ratu Atut. Atas putusan itu, jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.
Dengan vonis ini, artinya menambah masa penahanan Atut yang sudah divonis penjara 4 tahun dan denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait dengan Pilkada Lebak pada 2014 lalu.