Selasa 25 Jul 2017 12:55 WIB

Apakah Petani tidak Sejahtera Akibat Produsen Beras Premium?

Rep: Santi Sophia/ Red: Nidia Zuraya
Petani menanam padi di sawah (ilustrasi).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Petani menanam padi di sawah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr M Firdaus menanggapi kasus beras premium yang melibatkan produsen beras PT Indo Beras Unggul (PT IBU). Dalam kasus ini PT IBU dinilai telah merugikan petani karena membeli beras subsidi dari petani dan menjualnya kembali ke konsumen dengan harga tinggi.  

Apakah tindakan yang dilakukan produsen premium ini membuat petani padi menjadi semakin tidak sejahtera?

Menurut Firdaus, selama ini pemerintah berasumsi sudah memberikan subsidi ke petani padahal efektifitas subsidi tersebut dipertanyakan. Dari hasil penelitian mengenai efektifivitas subsidi yang dilakukannya bersama Bank Dunia, Firdaus mengungkapkan bahwa dana subsidi yang sampai ke petani itu hanya 40 persen.

"Tentu ada cara lain untuk sejahterakan petani," ujarnya, Selasa (25/7).

Ia mencontohkan di Thailand dan Vietnam, pemerintah tidak melakukan subsidi input tetapi subsidi harga. Agar petani di sana sejahtera, mereka tidak bisa menjual beras dengan harga Rp 3.700, tapi dengan harga Rp 5.000.

Namun, kata Firdaus, kalau petani menjual di harga Rp 5.000-an, maka harga beras medium di pasaran tidak bisa Rp 9.500. "Maka kalau membeli di petani Rp 3.700, supaya harga beras medium di pasar Rp 9.000, petani disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp 1.300 (subsidi output)," tuturnya.

Dengan subsidi output ini, lanjut Firdaus, maka di Thailand harga berasnya bisa mencapai Rp 6 ribuan untuk beras medium, beras premiumnya Rp 10 ribuan. "Sementara kita lebih banyak main di subsidi input (Rp 30 trilun per tahun) untuk subsidi pupuk yang efektifitasnya bisa jadi tidak tinggi. Ini yang ke depan harus dipikirkan, ujarnya.

Dari sisi ekonomi, pemerintah tidak lagi menerapkan harga dasar tetapi menggunakan HPP. Harga dasar itu kalau petani panen raya, pemerintah wajib membeli dengan harga dasar sehingga harga di petani terjamin atau tidak turun dan fungsi Bulog signifikan.

Sementara HPP adalah acuan bahwa pembelian gabah di petani harus di atas HPP, pemerintah tidak ada kewajiban untuk membeli. "Ini yang harus didorong peran Bulog. Bulog harus dioptimalkan dan diberi keleluasaan," kata dia.

Menurutnya, Undang-undang atau konsep tentang Badan Pangan Nasional (BPN) yang saat ini ada di meja Presiden harus segera disahkan. Itu merupakan badan pangan yang mampu mengkoordinir sampai ke level kementerian.

Selain itu, tidak adil menurutnya jika kasus ini berlaku hanya untuk beras. Sebab subsidi sebesar Rp 30 trilun itu untuk hortikultura, sapi, kentang dan cabai.

Apakah semua harus diperlakukan sama? Pemerintah dinilai harus konsisten. Benar atau tidak pedagang mengambil untung yang tidak wajar harus dibuktikan di pengadilan KKPU.

Solusinya, menurut Firdaus adalah jika pemerintah konsisten ingin mensejahterakan petani, maka pertimbangkan kembali mekanisme subsidi, efektifitasnya, cara atau metodenya. Kedua, pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan HPP.

"HPP itu tidak ada konsekuensi apa-apa ke petani. Harus kembali ke harga dasar dan harga atap," ujarnya.

Ketiga, kata dia, dengan kondisi petani yang skalanya kecil-kecil kemudian menanam padi, maka fungsi lembaga tetap harus ada. "Apakah BPN ataukah Bulog, harus maksimal. Kalau Bulog maka harus diberi keleluasan dan kewenangan," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement