REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Laporan terbaru Human Rights Watch (HRW) menunjukkan polisi Prancis secara rutin menyiksa pengungsi dan migran di kota pelabuhan Calais. HRW menuduh pihak berwenang telah menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan polisi itu.
Laporan berjudul "Like Living in Hell" ini dirilis pada Rabu (26/7). HRW mengatakan regu polisi sering menggunakan semprotan merica kepada para pencari suaka, termasuk anak-anak yang tidak menimbulkan ancaman, saat mereka sedang tidur.
Polisi juga dilaporkan telah menyemprotkan bubuk merica ke makanan, air, kantong tidur, selimut, dan pakaian para pencari suaka. Laporan tersebut menambahkan, tindakan polisi Prancis itu telah melanggar standar kepolisian internasional.
"Sangat disayangkan polisi menggunakan semprotan merica pada anak-anak dan orang dewasa yang sedang tidur, yang sedang dengan damai menjalani hari mereka," kata Benedicte Jeannerod, Direktur HRW di Prancis, dikutip Aljazirah.
"Ketika polisi menyita selimut, sepatu, atau makanan para migran, mereka telah merendahkan profesi mereka dan juga telah merugikan orang-orang yang haknya telah mereka sumpah untuk dijunjung tinggi," ungkap Jeannerod.
Pihak berwenang Prancis membantah tuduhan dalam laporan tersebut. HRW mengaku, mereka telah mewawancarai 61 orang sebelum menerbitkan laporan itu.
Fabien Sudry, kepala polisi wilayah Pas-de-Calais, mengatakan di menolak tuduhan palsu dan fitnah yang ada dalam laporan tersebut. "Polisi tentu saja beroperasi di Calais dengan menghormati peraturan perundang-undangan, dengan satu-satunya tujuan untuk memastikan ketertiban dan keamanan publik," jelas Sudry.
Selama lebih dari satu dekade, pantai utara Prancis ini telah menjadi magnet bagi para pengungsi dan para migran yang berusaha mencapai Inggris. Pada Oktober tahun lalu, pihak berwenang Prancis membongkar kamp pengungsi darurat Calais yang bobrok, tempat ribuan orang tinggal dengan harapan dapat melintasi Selat Inggris.
Namun HRW mengatakan ratusan pencari suaka dan migran, kebanyakan dari Eritrea, Etiopia, dan Afghanistan, masih tinggal di jalanan dan di daerah hutan di dalam dan di sekitar kota pelabuhan itu.
"Setiap hari, polisi mengejar kita, mereka menggunakan semprotan. Mereka menendang kita. Inilah kehidupan kita setiap hari," kata Waysira L, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dari komunitas Oromo, sebuah kelompok etnis di Afrika timur.
Awal bulan ini, polisi Prancis mengusir sekitar 2.000 pengungsi dan migran yang tidur di jalanan kota Paris. Presiden Perancis Emmanuel Macron yang baru terpilih mengatakan dia bermaksud merombak sistem suaka negara tersebut, serta menerapkan proses yang lebih manusiawi dan adil bagi para pengungsi.