Kamis 27 Jul 2017 07:34 WIB

Pengamat Tanggapi 'Manuver' PPP dan PKB dalam UU Pemilu

Rep: Ali Mansur/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua DPR Setya Novanto (kedua kanan) didampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kanan) menerima laporan Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy (kedua kiri) dan Anggota Pansus Fandi Utomo (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/7).
Foto: ANTARA FOTO/Mahesvari
Ketua DPR Setya Novanto (kedua kanan) didampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kanan) menerima laporan Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy (kedua kiri) dan Anggota Pansus Fandi Utomo (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat Komunikasi Politik, Anang Sudjoko mengaku tidak heran dengan manuver yang dilakukan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) soal Undang-undang Pemilu. Sebenarnya, kata Anang, sejak awal kedua partai tersebut sepakat dengan presidential treshold 0 persen. Kemudian mereka mengajukan titik kompromi dengan presidential treshold di angka 10-15 persen.

"Nah PKB dan PPP yang awalnya itu setuju 0 persen. Tiba-tiba harus mengikuti dari partai penguasa mendukung presidential treshold 20 persen," kata Dosen Fisip Universitas Brawijaya, Malang, Rabu (27/7).

Menurut Anang, memang politik itu selalu mengalami fluktuatif. Sebagai contohnya adalah PPP dan PKB tersebut ketika mengambil keputusan mengenai presidential treshold pada Undang-undang Pemilu. Anang menegaskan, tidak ada kawan dan lawan abadi dalam berpolitik, yang ada hanya kepentingan politik itu sendiri.

"Artinya manuver mereka (PPP dan PKB) karena ada kepentingan yang ingin dicapai," tambah Anang.