Kamis 27 Jul 2017 09:09 WIB

Pengamat: PT 20 Persen untuk Perpanjang Kekuasaan

Rep: Ali Mansur/ Red: Bilal Ramadhan
Sekjen Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Jamal Yamani (kiri) Wakil Sekjen Yustiana Dewi (kanan) memperlihatkan surat permohonan Uji Materiil Undang-Undang Pemilu 2017 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (24/7).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sekjen Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Jamal Yamani (kiri) Wakil Sekjen Yustiana Dewi (kanan) memperlihatkan surat permohonan Uji Materiil Undang-Undang Pemilu 2017 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Komunikasi Politik, Anang Sudjoko berharap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak meloloskan Undang-undang Pemilu dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Sebab menurutnya, penerapan presidential treshold tidak sesuai dengan semangat Undang-undang 1945 dan Pancasila. Apalagi semangatnya adalah dari rakyat untuk rakyat.

"Ada prinsip-prinsip permusyawatan, artinya tidak mengutamakan golongan-golongan tertentu dan disinilah kita diuji, Demokrasi itu tetap mengutamakan kepentingan rakyat," jelas Dosen Fisip Universitas Brawijaya, Malang, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (27/7).

Terkait "kengototan" pemerintah menginginkan presidential treshold 20 persen ada hal yang hendak dicapai. Yaitu, sambung Anang, pemerintah ingin terus mempertahankan kekuasaan pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Maka pemerintah dengan segala cara, salah satunya dengan kekuasaannya akan tetap mempertahankan presidential treshold.

"Kalau saat ini ada kecenderungan kalau penguasa itu ingin terus bertahan dengan segala cara. Salah satunya dengan kekeuasan di persidangan, ada jamuan khusus untuk partai koalisi padahal itu fasilitas rakyat, Istana Negara kan punya rakyat," keluhnya.