Ahad 06 Aug 2017 00:05 WIB

Mengintip Ritual Peracikan Racun Ala Suku Mentawai

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ratna Puspita
Sikerei atau dukun yang dihormati dalam tradisi Suku Mentawai menunjukkan cara pembuatan racun untuk berburu hewan.
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Sikerei atau dukun yang dihormati dalam tradisi Suku Mentawai menunjukkan cara pembuatan racun untuk berburu hewan.

REPUBLIKA.CO.ID, SIBERUT SELATAN -- Masyarakat Suku Mentawai hingga kini masih melestarikan budaya berburu hewan di pedalaman hutan. Selain untuk memenuhi pasokan pangan sehari-hari, berburu babi hutan atau rusa bagi anggota Suku Mentawai merupakan suatu kebanggaan yang ditunjukkkan sebagai upaya menjaga adat istiadat. 

Salah satu tradisi yang dilakukan, seorang pria Suku Mentawai harus mendapatkan hewan buruan bila ia dikaruniai anak laki-laki. Cara berburu pun tak sembarangan. Suku Mentawai masih melakukan perburuan dengan cara memanah. 

Panah yang terbuat dari kayu hutan dan anak panah yang dioles racun mematikan menjadi senjata andalan mereka dalam mencari bahan baku santapan malam nan lezat.

Salah satu Sikerei atau yang dikenal sebagai dukun dalam tradisi Suku Mentawai, Amapoyo, menuturkan tata cara pembuatan racun yang digunakan dalam tradisi memanah. Amapoyo yang berasal dari Suku Sekalio, termasuk dalam Suku Mentawai, mengaku saat ini sudah banyak generasi muda Suku Mentawai yang tak lagi mengutamakan tradisi berburu. 

Memang secara budaya, kegiatan berburu masih dilakukan. Namun, menurut Amapoyo, kini anak-anak muda lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga ketimbang berburu di dalam lebatnya hutan tropis Pulau Siberut.

"Generasi muda sudah mulai banyak mengutamakan keluarga kecil," kata Amapoyo dalam bahasa lokal.

Amapoyo lantas menunjukkan bagaimana meracik racun yang bisa mematikan babi hutan, rusa, bahkan monyet dalam hitungan menit, bahkan detik. Racun yang digunakan terbuat dari bahan-bahan alami dan dapat ditemui di hutan-hutan Siberut. 

Uniknya, racun yang digunakan dengan cara mengolesnya ke ujung anak panah tersebut tidak akan mematikan manusia bila tertelan. Racun ini hanya bekerja dengan manjur bila terjadi kontak dengan darah melalui luka terbuka.

Anggota suku yang meracik racun juga harus menjalani semacam ritual agar racun yang ia buat manjur. Salah satunya adalah larangan untuk berhubungan suami istri sebelum dan selama perburuan berlangsung. Jika tidak maka ada kepercayaan si pembuat racun akan terkena anak panah dalam perburuan.

Bahan utama racun dalam tradisi berburu Suku Mentawai adalah batang pomai. Bahan ini akan dikikis kulitnya dan ditaruh di sebuah wadah yang disebut dengan lulat. 

Bahan lainnya adalah lengkuas atau dalam bahasa lokal disebut baglau. Beberapa biji cabai hutan juga digunakan dalam pembuatan racun ini. Amapoyo menyebutkan, semakin banyak cabai digunakan, maka semakin tinggi pula kadar racun yang dibuat.

Langkah pertama pembuatan racun adalah mengikis batang pomai. Setelah dikumpulkan dalam satu wadah, Sikerei akan membacakan semacam doa-doa untuk meminta kelancaran perburuan. Kikisan batang pomai akan dicampur dengan akar tuba. 

Campuran kedua bahan akan diambil perasan airnya. Kemudian, Sikerei akan mulai menumbuk lengkuas atau baglau dan dicampurkan ke dalam racikan sebelumnya. Tambahan lengkuas bisa menambah cairan dalam racikan racun.

"Lengkuas juga punya rasa untuk menambah kemampuan pomai dalam meracuni hewan," ujarnya.

Satu keunikan lainnya, penambahan akar tuba akan disesuaikan dengan jenis hewan buruan. Ada komposisi khusus yang berbeda-beda untuk buruan rusa, babi hutan, atau monyet. 

Seluruh bahan kemudian diperas dengan sebuah wadah khusus untuk diambil airnya. Nantinya air hasil perasan akan disisihkan. Langkah selanjutnya, Sikerei akan "mencicip" hasil racikan racun untuk merasakan kadar keasaman dari racun. Hal ini untuk memastikan bahwa racun yang dibuat cukup ampuh untuk mematikan jenis buruan tertentu. Kalau seandainya rasa pedasnya sudah pas maka mereka akan mencoba sendiri. 

"Racun yang mereka racik ini kalau untuk merasakannya atau dicicip dengan lidah tidak masalah. Namun, yang bahaya kalau racun ini kena luka dan tergores dan kontak langsung dengan darah," ujar salah satu penerjemah Sikerei.

Jika sudah dirasa pas maka racun yang telah dibuat akan dioleskan di ujung anak panah. Jika ingin hasil maksimal maka racikan racun harus dipanaskan dalam api unggun kecil agar cairan lebih kental. 

Pengolesan di ujung anak panah bisa dilakukan berulang kali sesuai dengan tingkat racun yang diinginkan. Kuas yang dipakai untuk mengoles biasanya terbuat dari bulu monyet yang dikumpulkan.

Biasanya dalam memuat racun Sikerei juga melakukan ritual Mukekei, ritual ini dilakukan untuk menjaga hal-hal yang pantang dan tabu untuk mereka lakukan. Hal-hal yang tabu untuk dilakukan misalnya, kalau sikerei mau bekerja dan membuat racun, mereka tak boleh buru-buru mengasah parang atau benda tajam.

Setelah melakukan peracikan dan pemolesan ujung panah, biasanya mereka akan kontinyu melakukan perburuan ke hutan untuk melakukan uji coba dari hasil racikan racun mereka. Langkah ini untuk memastikan apakah racun tersebut sudah mempunyai kemampuan daya lumpuh yang pas terhadap hasil buruan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement