Senin 07 Aug 2017 07:03 WIB
Analisis

Stimulasi Sisi Permintaan Ekonomi

 Umar Juoro
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Umar Juoro

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Umar Juoro*

Perkembangan ekonomi masih terus mengalami perlambatan. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua  ini masih sekitar 5% menurunkan perkiraannya sebelumnya  dari 5,1%. Kredit perbankan masih terus melemah menjadi 7,6% sedangkan DPK (Dana Pihak Ketiga) tumbuh sekitar 10%. Pertumbuhan kredit investasi mengalami perlambatan hanya tumbuh 6,1%, begitu pula kredit modal kerja melambat menjadi 6,9%. Konsumsi masyarakat juga belum memperlihatkan peningkatan sebagaimana harapan yang terlihat dari cukup tingginya ekspektasi kepercayaan konsumen.

Pertumbuhan kredit yang tinggi dialami oleh bank BUMN sekitar 15% terutama untuk membiayai infrastruktur. Namun perusahaan BUMN mengalami tekanan keuangan yang besar untuk dapat tetus mendukung pembangunan infrastruktur ini. Sementara peran swasta minim, sehingga tidak terjadi efek berantai dalam perkembangan ekonomi. Pembangunan infrastruktur adalah baik dalam jangka panjang, namun membutuhkan waktu dan dana yang besar serta banyak pembangunan infrastruktur yang imbal hasilnya rendah atau tidak ekonomis.

Apa yang terjadi sebenarnya adalah penurunan daya beli masyarakat bawah dan melemahnya kepercayaan diri (confidence) secara riil masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi. Masyarakat berpendapat menengah cenderung menurunkan kualitas dan volume barang yang di konsumsi lebih rendah dan lebih murah dan cenderung menabung. Masyarakat berpendapatan tinggi juga cenderung menahan konsumsinya, cenderung menabung, sebagaimana terlihat dari meningkatnya dana di perbankan.

Belanja melalui online memang memengaruhi perlambatan dalam pertumbuha ritel, tetapi tidak menjelaskan pelemahan konsumsi masyarakat pada umumnya. Kepercayaan konsumen dalam pengertian yang sebenarnyalah  yang harus direalisasikan.

Sekalipun indeks kepercayaan konsumen memperlihatkan peningkatan, namun dalam kenyataannya tidak demikian. Masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi cenderung menabung daripada belanja. Salah satu penjelasannya adalah belum melihat prospek ekonomi yang lebih baik. Di tambah juga kekhawatiran untuk membayar pajak lebih tinggi setelah pengeluaran cukup besar mengikuti Amnesti Pajak.

Dengan kata lain permasalahan melemahnya permintaan (demand side) membuat perusahaan menanggapinya dengan mengurangi produksi. Melemahnya permintaan menyebabkan pelemahan penawaran yang selanjutnya bermuara pada pelemahan ekonomi.

Pelemahan ekonomi juga terlihat dari pertumbuhan konsumsi listrik yang hanya 2%. Biasanya pertumbuhan konsumsi listrik adalah lebih tinggi (satu setengah kali) pertumbuhan ekonomi. Kali ini keadaannya menjadi terbalik. Penjelasannya adalah produsen tidak mempergunakan listrik sebagaimana mestinya karena pelemahan dan beberapa industri mengalami penurunan produksi. Hal ini terlihat dari indeks PMI (Purchasing Manager index) manufaktur yang masih terus menurun menjadi 48,6 yang lebih rendah dari 50 yang menunjukkan pelemahan aktivitas.

Pertanyaannya adalah bagaimana kelanjutan proyek 35 GW yang sebelumnya mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 7% permintaan listrik sekitar 10%. Jika seperti kehendak pemerintah proyek 35 GW dilanjutkan tanpa mengoreksinya lebih realistis, maka beban pembaiayaannya yang besar tidak sejalan dengan kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ekonomi sekarang ini lebih memberikan penekanan pada sisi penawaran (supply side) dengan perananan pemerintah melalui BUMN memainkan peran besar. Sedangkan BUMN bebannya sudab terlalu besar. Sayangnya pengeluaran pemerintah pun belum optimal. Pembangunan infrastruktur  yang didorong sekalipun imbal hasil ekonominya (return) rendah dan membutuhkan waktu yang panjang, dan banyak proyek tidak memberikan imbal hasil yang memadai.  Untuk membiayainya dikejar pajak dengan berbagai cara, walaupun ini menyebabkan kekhawatiran konsumen yang menyebabkan pelemahan permintaan dan ekonomi. Tentu saja rasio pajak yag masih berkisar di tingkatan 11% harus ditingkatkan, namun pada saat ekonomi melemah dan penggunaan anggaran dipertanyakan, dengan berbagai kasus korupsi, wajib pajak semakin tidak antusias tidak saja dalam mendukung peningkatan penerimaan pajak, tetapi juga dalam kegiatan ekonomi.

Semestinya pada saat ekonomi melemah, stimulasi baik untuk perusahaan maupun rumah tangga diutamakan, bukan sebaliknya melakukan kebijakan kuasi kontraksi dengan mengejar penerimaan pajak dengan berbagai cara yang juga tidak tecapai targetnya. Pendekatan adalah lebih efektif dengan stimulasi dari sisi permintaan daripada penawaran. Golongan masyarakat bahwa perlu mendapatkan tambahan daya beli, antara lain dengan transfer dana melalui persyaratan dengan kegiatan produktif. Golongan berpendapatan menengah jangan dijadikan sasaran penerimaan pajak, tetapi di fasilitasi dalam meningkatkan kegiatan ekonominya dari sisi usaha maupun belanja rumah tangga.

Pembangunan infrastruktur difokuskan pada yang langsung menunjang kegiatan ekonomi dan melibatkan peran swasta lebih besar.  Selanjutnya kita juga harus belajar dari pengalaman beberapa negara yang terjerat utang karena pembangunan infrastruktur, seperti di Sri Lanka dan Bangladesh, yang dibiayai oleh perbankan  Tiongkok, yang juga tidak mendatangkan manfaat ekonomi seperti yang diharapkan. Konsesi yang diberikan juga menjadi terlalu besar dibandingkan dengan manfaat ekonominya. Indonesia harus lebih realistis dalam pembangunan infrastruktur yang menselaraskan kemampuan pembiayaan, manfaat ekonomi, dan kedaulatan ekonomi.

*ekonom

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement