Selasa 08 Aug 2017 14:58 WIB

Pedagang Kurban Bertahan di Tengah Minimnya Lahan

Rep: Sri Handayani/ Red: Andri Saubani
Kambing-kambing yang dijual di Kawasan Kebon Melati, Pasar Tanah Abang, Senin (7/8).
Foto: REPUBLIKA/Sri Handayani
Kambing-kambing yang dijual di Kawasan Kebon Melati, Pasar Tanah Abang, Senin (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, Jalan Sabeni Raya di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tampak ramai oleh mobil-mobil yang parkir maupun para pedagang makanan pada Senin (7/8) pagi . Memasuki area itu, ada sebuah pasar tradisional kecil yang telah puluhan tahun menjadi tempat berbagi para pedagang kambing dan pedagang kebutuhan sehari-hari.

Sebagian kambing tampak makan rumput dalam kondisi terikat di kandang, sebagian berteduh dari sengatan matahari di bawah bemper depan mobil yang terparkir di tengah pasar. Yang lain naik ke meja pedagang sayur yang lapaknya tutup. Beberapa kambing berjalan puluhan meter menuju tempat sampah untuk mendapatkan makanan.

Sekitar 17 pedagang hewan kurban masih setia menjaga kambing dan sapi mereka di lokasi itu. Salah seorang pedagang, Faisal, tampak duduk bersama teman-temannya. Ia mengatakan pesanan kambing memang mulai ramai mendekati hari Idul Adha. Namun, untuk memenuhi keperluan aqiqah.

"Kalau untuk Idul Adha yang main panitia. Ada juga yang di jalan, tapi itu anak-anak saja. Yang suka ngeteng-ngeteng tiap tahun," kata Faisal saat ditemui di pasar kambing Jalan Sabeni, Senin (7/8).

Menurut Faisal, para panitia kurban memang mulai berdatangan. Namun, mereka baru melakukan survei dan perbandingan harga. Tender biasanya baru dibuka dua pekan sebelum hari-H.

Tender biasanya dilakukan oleh para panitia kurban kolektif dari masjid-masjid atau perumahan. Sekali tender bisa menghasilkan pesanan 50-150 kambing.

Ia mengaku tak ada kenaikan berarti baik dari sisi harga maupun jumlah pesanan. Untuk kambing dengan berat 20-23 kilogram, ia mematok harga sekitar Rp 2 jutaan. Kambing berukuran sedang dengan berat 25-28 kilogram dihargai Rp 2,5 jutaan, sementara yang beratnya 30-33 kilogram sekitar Rp 3 jutaan.

Harga sapi juga tak berubah. Sapi dengan berat 200-230 kilogram dipatok harga Rp 17,5 juta. Yang beratnya 250-280 kilogram bisa mencapai Rp 20 juta, sedangkan yang 300-350 kilogram dinilai Rp 23 juta.

"Harga nggak naik. Kecuali kalau di pengecer. Di sini harga stabil. Kadang kalau buat pengecer ukuran yang Rp 2 juta dihargai agak tinggi. Tapi kan ada tawar-menawar," kata dia.

Saat ini masih sulit untuk melihat naik atau turunnya pesanan. Mendekati hari H, baru akan terlihat seberapa ramai atau sepinya Idul Adha tahun ini. Namun, menurut Faisal, penurunan daya beli masyarakat biasanya tidak terlalu berpengaruh pada tingkat pemesanan hewan kurban.

"Biasanya kalau Idul Adha, ada nggak ada tetap stabil, tetap dikasihkan untuk kolektif kurban," kata dia.

Di tengah makin minimnya lahan untuk pedagang hewan, Faisal tetap bertahan. Sehari-hari ia memenuhi kebutuhan para pengusaha catering, pedagang daging di pasar, serta pengusaha restoran. Per hari ia menjual dan memotong 20-40 ekor kambing. Per ekor dihargai berdasarkan berat bersih kambing.

"Kalau untuk pedagang biasa Rp 80 ribu per kilogram, untuk restoran Rp 100 ribu," kata dia.

Dalam momen Idul Adha, pesanan kambing bisa mencapai 100 ekor. Dengan harga rata-rata Rp 2 juta, omzet yang diraih bisa mencapai Rp 200 juta. Omzet penjualan sapi lebih tinggi lagi. Dengan penjualan 25 ekor sapi seharga rata-rata Rp 18 juta, ia bisa meraih omzet Rp 450 juta.

Sejarawan Betawi dan Jurnalis Senior Republika, Alwi Shahab, dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan para pedagang kambing di Tanah Abang telah eksis sejak 1950-an. Ketika itu, para keturunan Arab keluar dari Kampung Arab di Pekajon dan boleh tinggal di Tanah Abang.

Mereka membawa kebiasaan makan kambing di Hadramaut ke Tanah Abang. Kios-kios daging kambing didirikan di Pasar Tanah Abang. Tak heran, pasar yang didirikan pada 30 Agustus 1735 ini kemudian dinamakan Pasar Kambing.

"Tapi, sejak beberapa tahun lalu, ketika Pasar Tanah Abang menjadi pusat pertokoan yang makin lama makin besar, entah bagaimana pedagang kambing harus rela tergusur. Para pedagang yang sebagian besar orang Betawi dan warga setempat tanpa perlawanan harus pindah ke Gang Kubur dan kini bernama Jalan Sabeni," kata dia.

Kini, Faisal dan pedagang lain di Pasar Kambing Jalan Sabeni tergabung dalam Persatuan Pedagang Kambing Tanah Abang (P2KT). Ketua P2KT Fadilah Harun mengatakan total ada sekitar 115 pedagang tergabung dalam organisasi itu, termasuk para pedagang daging, kulit, sate, dan sop kambing.

Menurut Harun, berdasarkan catatan organisasi, tahun lalu para pedagang kambing di Tanah Abang dapat menjual sekitar 2.000 ekor kambing. Senada dengan Faisal, ia memprediksi lesunya ekonomi tak akan banyak berpengaruh pada bisnis kambing kurban. Sebab, dalam Islam berkurban hanya dilakukan oleh penganut yang memiliki kemampuan dan kemauan. Motivasi agama yang kuat mendorong mereka tetap berkurban dalam berbagai kondisi.

Harun beranggapan kenaikan harga kambing dan sapi mendekati hari raya Idhul Adha adalah wajar. Ia memprediksi akan terjadi kenaikan harga sekitar Rp 1 juta untuk sapi dan Rp 100 ribu untuk kambing. "Kalau kambing yang standar, misal tahun kemarin Rp 2 juta, tahun ini jadi Rp 2,1 juta. Sapi kalau yang sedang itu kemarin Rp 17,5 juta, ya sekarang jadi Rp 18,5 juta," ucap dia.

Pada hari biasa, para pedagang telah terbiasa berbagi tempat dengan pedagang sayur dan kebutuhan pokok. Namun, mendekati Idhul Adha para pedagang mengaku kekurangan tempat untuk menampung sementara 2.000-an kambing yang dipesan pembeli.

"Untuk menampung 2000 ekor, (Pasar Kambing Jalan Sabeni) tidak cukup. Karena pasar ini kecil. Jadi kami minta kebijaksanaan (pemerintah) agar di luar sana, di Jalan KH Mas Mansyur sampai jalan yang di dekat rel kereta api bisa dipakai berjualan," kata Harun.

Menurut dia, para pedagang akan mulai membuka lapak di trotoar sepekan sebelum Idhul Adha. Keamanan, ketertiban, dan kebersihan telah menjadi komitmen mereka. "Setiap hari harus dibersihkan. Kami juga akan menjaga ketertiban, dalam arti tidak memakai badan jalan. Karena kami tahu di sini macet. Setelah bubar, jalan yang kami pakai akan disemprot dengan blower," kata dia.

Di tengah minimnya lahan, para pedagang kambing tradisional ini juga harus bersaing dengan modernitas di segala sektor, tak terkecuali perdagangan hewan qurban. Walaupun begitu, bagi Harun, mereka tak akan tersaingi atau tergusur. "Nggak merasa tersaingi. Karena orang yang tahu berkurban itu umumnya ingin melihat langsung. Kecuali orang-orang yang nggak ngerti," kata dia.

Menurut dia, pedagang kambing tradisional akan selalu mendapatkan tempat di masyarakat. Mereka menawarkan kepastian kualitas, sebab para pembeli dapat melihat langsung barang yang dijual. Ia berharap pemerintah dapat menyediakan tempat yang layak agar para pedagang agar bisa terus lestari. "Kita tidak hanya minta diizinkan. Kita minta kebijakan dari pemerintah," pinta Harun.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement