REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan, pengungsi perempuan dan anak etnis Rohingya mengalami trauma akibat konflik yang terjadi di negara asalnya, Myanmar.
Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mengatakan, berdasarkan pemantauan yang pihaknya lakukan pada pengungsi perempuan Rohingya yang terdampar di Aceh beberapa waktu lalu, mereka tak memiliki kewarganegaraan (stateless), mengalami kekerasan, anggota keluarga yang meninggal, hingga perkosaan membuat anak-anak dan perempuan trauma. Belum lagi trauma karena ada yang menjadi korban perdagangan manusia lantaran dijanjikan akan bertemu keluarganya.
"Memang banyak bantuan diberikan tapi mengatasi trauma perempuan dan anak yang belum," katanya, di Jakarta, Ahad (3/9).
Ia menambahkan, terbatasnya dukungan unuk perempuan dan anak memperparah kondisi yang dialami perempuan Rohingya. Untuk itu terkait meningkatnya eskalasi kekerasanbdan konflik pada Etnis Rohingya saat ini, Komnas Perempuan mendorong pemerintah Indonesia melakukan langkah strategis dan memahami isu Rohingya secara utuh. Sehingga diharapkan bisa melihat dari berbagai perspektif. Termasuk mengerti perempuan.
"Ini jadi pekerjaan tidak mudah," ujarnya.
Apalagi, kata dia, dalam kondisi apapun secara global, anak dan perempuan paling rentan mengalami kekerasan. Belum lagi kebutuhan perempuan yang berbeda. Misalnya ketersediaan kamar mandi khusus untuk kaum hawa, pengungsi perempuan itu tengah hamil, menstruasi, hingga melakukan proteksi terhadap anak.
"Itu juga harus terus digaungkan bahwa perempuan punya kebutuhan khusus dan karakter sendiri yang berbeda dengan yang lain," katanya.