Senin 04 Sep 2017 00:49 WIB

Ketua MPR Ajak Warga Pesantren Dukung Rohingya

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Bayu Hermawan
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan
Foto: Dok MPR RI
Ketua MPR RI Zulkifli Hasan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan menghadiri undangan silaturahmi ke Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. Dalam kunjungan itu, Zulkifli mengajak seluruh elemen pesantren untuk mendukung penyelesaian konflik yang terjadi pada etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar.

"Solidaritas kemanusiaan untuk Rohingya adalah implementasi nilai-nilai kemanusiaan. Kita mendesak dunia internasional untuk adil dan tidak menerapkan standar ganda," ujar Zulkifli dalam pidatonya, di pesantren tersebut, Ahad (3/9).

Zulkifli Hasan menyerukan solidaritas kemanusiaan untuk Rohingya. Ia menyampaikan bagaimana Pancasila menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai Kemanusiaan. "Seorang Pancasilais memanusiakan manusia, menolak segala bentuk penindasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan," katanya.

Karena itu ia menjelaskan lebih lanjut, jika hari ini masyarakat Indonesia mengecam pembantaian dan genosida terhadap etnis Rohingya, maka hal itu merupakan penghargaan terhadap kemanusiaan. Pancasila, dikatakan Zulkifli Hasan, menjamin penduduknya untuk menjalankan perintah agama secara leluasa.

"Kalau menjalankan agama secara baik dan benar adalah jalan menjadi warga negara yang baik," ucapnya.

Zulkifli Hasan menghadiri undangan silaturahmi ke Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. Kehadiran Ketua MPR disambut langsung oleh Pendiri dan Pimpinan Yayasan Asshiddiqiyah, KH Noer Muhammad Iskandar SQ, lalu Pimpinan Asshiddiqiyah, KH Muhammad Ulil Abshar, dan 800 lebih Santriwan dan Santriwati.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan Indonesia harus aktif ambil bagian dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

Usman mengatakan situasi di Rakhine makin memprihatinkan pada akhir Agustus 2017 setelah terjadi eskalasi konflik antara tentara Myanmar dengan kelompok bersenjata etnis Rohingya, yang mengungsi ke perbatasan Bangladesh setelah konflik bersenjata menewaskan setidaknya 400 warga sipil.

Pelanggaran serius Hak Asasi Manusia telah dialami oleh penduduk di negara bagian Rakhine, terutama komunitas Rohingya selama puluhan tahun karena tindakan sewenang-wenang pemerintah Myanmar.

Usman mengatakan Amnesty Internasional melaporkan pada 2016 bahwa aparat bersenjata Myanmar telah dengan sengaja melakukan pembunuhan kepada warga sipil, menembak secara serampangan di desa-desa, menangkap pemuda Rohingya tanpa alasan jelas. Pemerintah Myanmar memandang komunitas Rohingya dan milisi bersenjata di Rakhine sebagai ancaman atas kedaulatan mereka.

Serangan milisi bersenjata Rohingya yang mengakibatkan paling sedikit 32 orang meninggal, 11 di antaranya adalah aparat keamanan Myanmar pada 25 Agustus 2017, dianggap pemerintah sebagai potensi bahaya hilangnya kekuasaan Myanmar di Rakhine. Karena itu serangan balas dendam dilakukan untuk menghabisi para milisi yang berimbas pada komunitas Rohingya secara keseluruhan.

Situasi ini diperparah dengan rangkaian penangkapan dan pembunuhan yang menimpa para pembela HAM di Myanmar dalam melakukan kerja mereka melaporkan pelanggaran HAM. Berbagai tindakan persekusi ini telah menimpa para aktivis HAM, pastor, jurnalis, pengacara, dan siapapun yang dianggap kritis akan pelanggaran HAM yang dilakukan militer Myanmar.

Melihat gentingnya situasi kemanusiaan di Rakhine, pemerintah Indonesia selayaknya melakukan upaya diplomasi kepada pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan kejahatan HAM yang diarahkan kepada komunitas Rohingya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement